Categories
Reportase

Memaknai Perjalanan dan Kerasnya Ibu Kota

Pertengahan September tahun 2022, saya memenuhi panggilan seorang rekan untuk silaturahmi ke Jakarta. Saat ini saya berdomisili di Surakarta dan sudah lama tidak berkunjung ke sana. Beberapa kali di bulan September dia mengundang Saya, tetapi saya baru bisa memenuhi panggilan tersebut pada pertengahan bulan.

Sebelum berangkat ke Jakarta, saya survei di beberapa biro perjalanan tujuan Jakarta. Mulai dari travel, kereta sampai bus. Mulai dari harga, waktu pemberangkatan, dan tempat tujuan. Akhirnya, saya putuskan untuk menggunakan moda transportasi bus untuk ke sana dengan tujuan Grogol. Ya, Grogol lebih dekat dengan Menteng, tempat kawan saya berada. Saya pikir turun di Grogol lebih dekat. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan memesan ojek online agar waktu tempuh lebih akurat dan tentunya ongkos perjalanan menuju Menteng, lokasi yang saya tuju, lebih bersahabat.

Keesokan harinya saya datang ke biro perjalanan bus terkenal dan telah mendapatkan rekor MURI atas capaian pelayanannya. Setelah transaksi tiket, saya lihat waktu pemberangkatan bus pukul 17.30 WIB dengan titik pemberangkatan di Kartasura.

Saya lanjutkan untuk menghubungi teman saya yang di dekat lokasi pemberangkatan sekalian menjenguknya yang baru saja pulang dari rumah sakit.  Setelah semua perlengkapan dirasa sudah disiapkan, saya memutuskan untuk ke rumah teman saya yang berada di Kartasura.

Satu jam sebelum pemberangkatan saya sudah sampai di rumah teman saya. Mengobrol dan saling bertukar kabar. Sudah lama juga tidak bertegur sapa dengan dia hingga waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Akhirnya saya putuskan untuk segera merapat ke titik kumpul pemberangkatan dengan diantarkan oleh seorang teman.

Ternyata, jadwal pemberangkatan bus mundur hingga pukul 18.30 WIB. Saya menikmati waktu menunggu untuk bercengkrama dengan penumpang lain yang turun di Kali Deres. Menurutnya prediksi akan tiba di sana menjelang subuh, artinya sekitar pukul 04.30 WIB.

Kami berbeda bus karena tujuannya berbeda. Pikir saya bus yang akan saya tumpangi tujuan akhir di Grogol, semua penumpang akan turun di sana.  Tibalah bus yang harus saya tumpangi. Saya naik dan menuju kursi D-8. Ternyata belakang sendiri dekat dengan toilet.

Tidak masalah bagi saya. Fasilitas dan kenyamanan penumpang memang diutamakan di bus ini. Setengah berbaring, saya berkabar dengan beberapa orang tua, teman, dan relasi kerja melalui pesan singkat WhatsApp, berpamitan.

Dirasa semua selesai, saya tarik selimut untuk tidur. Estimasi perjalanan diperkirakan sampai Grogol adalah pagi menjelang subuh. Sesuai perkataan orang yang saya temui di ruang tunggu tadi. Dalam hati saya, ah masih lama. Masih cukup waktu untuk tidur nyenyak. Apalagi dengan fasilitas full tol, akan lebih nyaman lagi tanpa ada kemacetan.

Setelah beberapa jam perjalanan, saya terbangun, bus berhenti di Rest Area Subang. Berhenti di tempat ini adalah fasilitas yang disediakan oleh biro bus ini. Saya turun, memesan kopi, dan menghisap dua batang rokok, menunggu waktu istirahat di rest area selesai.

Ada pengumuman dengan pengeras suara, penumpang diminta menaiki bus dengan nomor lambung 493 untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Waktu menunjukan pukul 00.00 WIB. Setelah menaiki bus dan duduk sesuai nomor pemesanan. Seperti sebelumnya, saya ambil selimut untuk melanjutkan tidur, karena saya rasa perjalanan masih menyisakan waktu kurang lebih 4 jam 30 menit.

Di saat saya pulas tertidur, saya dibangunkan oleh pramugari. Dia mengabarkan kalau tujuan saya, Grogol, sudah terlewati. Dia pun menyarankan saya untuk turun di Kali Deres. Aissh, bingung bukan kepalang.

Saya kira saya akan dibangunkan apabila sudah sampai tujuan dan Grogol adalah pemberhentian terakhir. Ternyata tidak. Akhirnya saya menurut sesuai arahan pramugari. Tidak lama berselang, pengemudi membawa bus tiba di Kali Deres. Akhirnya saya turun dari bus dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada supir dan pramugari.

Baru turun dari bus, saya menghela napas sembari menyusun langkah. Menentukan ke arah mana dan naik apa untuk bisa sampai Menteng. Tidak lama berselang, ada ojek motor pangkalan yang menghampiri.

Driver Ojek

Driver paruh baya sembari bawa motor jupiternya. Dia langsung bertanya, “tujuannya ke mana mas?”. Saya setengah sadar, efek bangun tidur, sambil menjawab. “Ke Grogol, Pak”. Sambil membuka hape untuk menentukan lokasi saya berada.

Driver ojek itu berkata, “Jangan main hape di sini mas. Banyak jambret”. Saya pikir relevan juga apa yang disampaikan oleh bapaknya, mengingat waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB.

“Udah saya antar saja, Mas. Biar aman,” ujar driver menawarkan jasa. Perasaan saya sudah gak nyaman dengan tawaran driver. Saya menolak dan mencoba berjalan kaki ke arah keramaian. Driver tersebut mengikuti.

“Mau ke mana, Mas? Di sini gak ada orang, jauh dari keramaian. Kalau masnya ke sana lebih baik jangan, karena banyak pendemo di sana. Besok ada agenda demo buruh besar-besaran kenaikan BBM,” kata driver tersebut kembali menawarkan dengan nada menakut-nakuti.

Kembali rasa tidak nyaman itu muncul lagi. Sebab, naik jasa ojek pangkalan tanpa aplikasi akan berkaitan dengan ongkos yang dibayar. Tanpa aplikasi jarak tempuh yang tak pasti. Driver tersebut akan mudah menaikturunkan ongkos perjalanan ke lokasi. Namun, dengan badan yang masih lemas gara-gara habis tidur.

Akhirnya saya menuruti saja ajakan driver untuk naik motor jupiter yang dia bawa, seolah terhipnotis. Sewaktu saya naik, belum negosiasi harga jasa. Ah, mungkin kisaran harga 50 ribu sampai 100 ribu, pikir saya. Harga itu relevan untuk ojek tanpa aplikasi yang berlokasi di Jakarta. Saya putuskan untuk turun di Grogol. Rencana saya, dari Grogol ke Menteng saya lanjutkan naik ojek online agar lebih terjangkau.

Perjalanan naik ojek motor tanpa aplikasi dimulai. Menyusuri ibu kota yang terjal dan keras. Diiringi dengan tanya jawab antara driver dengan saya. Bagi saya, mengobrol menjadi hal yang menyenangkan di tengah perjalanan. Kita saling lempar pertanyaan, mulai dari asal daerah, berapa lama tinggal, sudah lamakah bekerja sebagai driver, hingga kehidupan rumah tangganya.

Driver tersebut asli Purwokerto. Punya dua anak, yang pertama sudah masuk menengah atas dan terakhir sudah mulai sekolah dasar. Dia dan keluarganya lama tinggal di Jakarta, sekitar tahun 2000. Saat ini dia mengontrak, total kebutuhan per bulan untuk hidup dan mencukupi kebutuhan sehari-hari paling tidak dia harus mengamankan sekitar dua sampai tiga juta per bulan dengan pekerjaan sebagai ojek pangkalan.

Apalagi dengan pendapatan yang untung-untungan kadang dia harus putar otak dan kerja serabutan. Mengingat saat ini harga BBM naik dan secara otomatis barang lain mengikuti naik. Dia juga bercerita, kalau hari ini akan ada demo besar-besaran soal kenaikan harga BBM.

Banyak buruh berbagai daerah sudah memadati wilayah Bundaran Monas. Beberapa hari terakhir memang terjadi demo besar-besaran di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Surakarta. Di Surakarta, Saya bersinggungan langsung dengan banyak keluarga yang terdampak dari kenaikan harga BBM. Sebelum kenaikan harga BBM, beberapa keluarga bercerita ke saya, mereka berusaha keras untuk menyambung napas kehidupan pascadampak pandemi Covid-19.

Kehidupan rumah tangga yang harus diperjuangkan dan harus diupayakan benar-benar terasa di masyarakat arus bawah. Dalam pikiran saya, sangat ngeri juga menjadi seorang bapak dengan banyak anggota keluarga yang harus memperjuangkan keluarganya, menjaga harga dirinya dan keluarganya. Ya, saya berimajinasi dan menduga inilah yang dialami oleh driver ojek pangkalan yang saya tumpangi ini.  

Roda motor jupiter terus berputar menyusuri jalanan ibu kota dengan speedometer yang mati. Dia bercerita, kalau mencari BBM tengah malam memang tidak ada yang buka. Dia menduga bensin motornya masih sedikit. Aiish, semakin ngeri di pikiran perjalanan ini. Apalagi saya masih berpikir berapa ongkos yang akan saya keluarkan.

Tarif Mahal Ojek Manual

Tidak berselang lama, motor yang saya tumpangi akhirnya sampai di Grogol. Tempat pemberhentian yang seharusnya sebelum bus sampai di Kali Deres. Tempat yang saya tuju sebelumnya.

Driver itu pun memberitahu saya. “Mas, ini mau lanjut atau sampai di sini?” Tanya driver. “Harga berapa sampai sini, Pak?” Tanyaku. “275 ribu, Mas,” jawab si driver.

Aish, mahal sekali, tuturku dalam hati. Hampir sampai angka harga tiket bus Surakarta-Jakarta yang saya beli. Benar dugaan saya, potensi naik turun harga benar-benar terjadi. Uang di saku hanya ada Rp70.000,00.

Saya coba serahkan ke driver. “Pak hanya ini yang ada. Bagaimana, Pak?” 

“Gini aja, Mas, kita duduk dulu sambil merokok,” Sang driver tau, saya perokok.  Saat saya merogoh kantong, saya mengeluarkan korek dan rokok sebelum mengambil uang Rp70.000.

Kami kemudian merokok sembari membuat kesepakatan baru. Driver memulai dengan membuat pernyataan. “Harganya memang segitu, Mas. Jauh lho itu. Saya gak bohong, Mas,” kata dia.

Saya sembari putar otak bagaimana caranya lepas dari jeratan tipu daya sang driver. Jarak antara Grogol dengan Menteng tinggal beberapa menit. Saya coba nego, “Saya  hanya ada uang saya dikantong segini, Pak. Gimana? Gak ada uang lagi,” kataku. “Wah gak bisa begitu, Mas. Masnya punya ATM kan. Ambil aja di ATM,” timpal si driver. “Ini buat bekal saya di Jakarta, Pak. Gak ada lagi uang,” kataku lagi memberi alasan.

Saya menolak dengan harga yang ditawarkan. “Tapi memang segitu harganya, Mas,” jawab driver dengan nada keras. Nadanya keras sembari melihat situasi. Kasian sekali bapak ini, dapat uangnya dengan cara yang kejam. Harus menipu dan melakukan intimidasi.

Dengan perasaan masih lelah perjalanan dan malas untuk membuat keributan. Akhirnya saya mencoba bertanya. “Kalau sampai ke Menteng berapa harganya, Pak?” Aku coba bernegosiasi. “Tambah 50 ribu saja deh, Mas. Jadi semuanya 320 ribu,” kata sang driver.

“Wah, kemahalan kalau segitu, Pak,” jawabku. “Gamau gapapa, Mas. Berarti sampai sini saja, 275 ribu,” kata si driver lagi. “Turunkan sedikit saja, Pak. 300 gitu,” saya mencoba nego.

“Gak bisa, Mas. Masih jauh soalnya,” jawab sang driver memelas. Setengah enggak percaya dengan si bapak. Tapi saya coba iyakan apa yang dia mau. “Ya sudah, Pak. Harga segitu gapapa, itu harga di luar nalar sebenarnya, Pak,” kataku menyerah.

Rokok yang kami hisap sudah habis. Sesuai dengan janji driver, kami melanjutkan perjalanan. Memang tidak terlalu jauh. Selama perjalanan, saya masih berbincang dengan driver, masih terkait dengan harga yang dipatoknya.

Dia sempat memohon untuk mengikhlaskan uang yang harus saya bayarkan. Pikir saya, dia memang sadar kalau harga yang diberikan memang di luar nalar. Ya, saya pastikan bahwa saya ikhlas. Mungkin dengan jalan itu dia mencari rejeki. Memang ini gambaran kerasnya Jakarta. Menghalalkan segala cara, termasuk membuat tipu daya.

Tibalah pada tujuan yang sudah ditentukan. Transaksi selesai. “Mas, boleh minta rokok lagi?” Kata sang driver. “Boleh, Pak. Ini buat Bapak semua,” saya berikan satu bungkus. Setelah itu saya berpamitan dengan mengatakan, “Semoga berkah ya, Pak. Selamat sampai tujuan. Jaga kesehatan,” kataku mendoakan. “Iya sama-sama, Mas,” jawab driver kemudian melanjutkan perjalanan.

Sembari melangkah menuju rumah, saya mencoba untuk bertanya dalam diri. Kenapa ya begitu mudahnya? Apakah saya dibohongi si bapak driver? Ataukah saya memang terlalu polos untuk berada di Jakarta sehingga mudah sekali memberikan uang yang diminta driver.

Sehari berselang memang masih saya pikirkan kejadian itu. Apa benar Jakarta itu keras? Atau saya yang terlalu polos. Ah, sudahlah. Driver juga sedang butuh uang banyak untuk biaya hidup. Apalagi BBM sedang naik dan ah sudahlah. Eh, tapi bagaimana dengan hidup saya selama di Jakarta? Terlalu polosnya mungkin saya sampai tidak memikirkan hal tersebut. Sampai memprioritaskan kepentingan orang daripada diri sendiri. Jakarta (mungkin) memang keras.