Kota lekat dengan momen-momen olahraga, tak terkecuali sepak bola. Pada sudut pandang tertentu, momen sepakbola dapat menggambarkan berbagai aspek perkotaan, khususnya transportasi. Ada dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk membaca kaitan antara kota dan sepak bola. Orhan Pamuk, salah satu sastrawan besar Turki, memberikan penjabaran yang menarik dari dua sudut pandang tersebut melalui esainya yang berjudul Kebakaran dan Reruntuhan.
Sudut pandang pertama adalah mata turis yang melihat sebuah bangunan, monumen, jalan, atau segala hal terkait dengan infrastruktur. Sementara, sudut pandang kedua adalah mata orang dalam, yang merekam segala momen, mulai dari yang kecil hingga yang besar dengan berbekal ingatan.
Dinamika sepak bola di Kota Solo juga bisa dibaca lewat cara demikian. Sejauh ini, Kota Solo memiliki sejarah sepakbola yang cukup panjang, terutama yang berkaitan dengan eksistensi klub Persis Solo. Klub Persis Solo sudah berdiri sejak tahun 1923 di masa kolonial. Usai melewati berbagai fase perjalanan, kini Persis Solo berkompetisi di kasta teratas liga sepak bola Indonesia.
Perjalanan panjang Persis Solo ini membuat massa sepak bola Solo memiliki banyak momen. Acapkali momen itu terjadi di stadion maupun di jalan. Salah satu momen di jalan terjadi dalam perayaan ulang tahun ke-100 Persis Solo, Rabu (8/11) malam. Saat itu massa tumpah ruah memenuhi Jalan Slamet Riyadi. Setelah acara berakhir, konvoi motor terjadi.
“Suporter mulai berdatangan dari pukul 22.00 WIB dan semakin malam semakin ramai. Jalan Slamet Riyadi pun macet total karena banyaknya suporter yang datang,” demikian yang tertulis dalam berita Detik.com.
Keterkaitan antara momen sepak bola dan massa bermotor itu juga bukannya tanpa alasan. Sebab, sejak lama massa sepakbola di Kota Solo memang identik dengan rombongan bermotor. Misalnya saja untuk menuju Stadion Manahan kandang Persis Solo, transportasi pribadi seperti motor masih jadi andalan utama. Bahkan keberangkatan mereka beramai-ramai terbagi dalam sekian kelompok.
Massa bermotor itu juga tercermin dari fasilitas publik terdekat atau gang sekitar stadion yang menjadi tempat parkir dadakan saat ada pertandingan sepak bola. Terlebih lagi, tampak massa bermotor tidak hanya berasal dari Kota Solo. Banyak yang datang dari kota-kota di sekitar Solo seperti Klaten, Sragen, Sukoharjo, dan Boyolali.
Barangkali kultur bermotor massa sepak bola Tanah Air tidak hanya terjadi di Kota Solo saja, tetapi umum terjadi di kota-kota lainnya. Biasanya antara kota, momen, dan ruang publik masih ditandai dengan kehadiran kendaraan bermotor yang memadati jalan, belum transportasi umum.
Menengok Kultur Nonton Bola di Belanda
Hal berbeda terjadi di luar negeri, yakni Belanda. Wartawan olahraga senior, Sumohadi Marsis pernah menceritakan bagaimana ia mengalami momen sepak bola di negeri kincir angin melalui transportasi umum. Catatan itu terdokumentasi pada 1987 dengan judul Dari Rotterdam ke Kardono. Tulisan tersebut terkompilasi pada buku berjudul Catatan Ringan. Di tulisannya, Sumohadi memantau peristiwa sepak bola di Belanda melalui sudut pandang turis. Sebagai turis tentu ia terfokus pada fasilitas publik maupun bangunan-bangunan di sana.

Pertama-tama ia menulis kesan kunjungannya terhadap kota yang ia tuju, Rotterdam. Baginya mungkin terasa aneh menyadari sebuah fakta bahwa Rotterdam berarti sepi, kurang menarik, tak punya pesona. Ia pun mulai mencatat tentang fasilitas publik yang ada di sana, salah satunya seperti stasiun kota. Ia juga mengungkapkan rencananya melihat pertandingan sepakbola dengan memanfaatkan konektivitas stasiun kereta api antarkota di Belanda.
“Dengan tubuh menggigil kedinginan, pagi-pagi saya sudah berada di stasiun kereta api-Amsterdam. Tujuan Tunggal: Rotterdam. Maksud menyaksikan pertandingan Sparta vs Groningen,” kata dia.
Tulisan itu mengesankan jarak antarkota tak merintangi alasannya melihat laga sepakbola. Sebab, hal itu bisa ditempuh secara fleksibel melalui fasilitas publik seperti kereta api. Namun sesampainya di lokasi, ia merasa kecewa. Ia urung melihat pertandingan karena pembatalan dengan dalih stadion diselimuti salju. Kendati begitu, ia masih sempat mengutarakan kekagumannya terhadap stasiun di Belanda sembari membandingkannya dengan stasiun di Indonesia.
“Stasiun Rotterdam, yang tentu saja lebih besar dan mewah dibanding stasiun Sudimara (Tangerang), ternyata sepi-sepi saja,” kata Sumohadi.
Tak berhenti sampai di situ, Sumohadi kembali menceritakan pengalamannya menggunakan transportasi umum demi melihat pertandingan sepakbola. Namun bukan lagi kereta api, ia memilih memakai trem dalam kota Amsterdam.
“Lanjutan cerita berikut ini bisa lebih menjelaskan. Tak lama setelah tiba kembali di Amsterdam, saya berangkat lagi. Kali ini naik trem, karena tujuan perjalanan hanya di dalam kota. Yakni ke kandang Ajax, menyaksikan pertandingan klub kenamaan itu melawan Den Bosch,” ujarnya.
Sekian amatan Sumohadi Marsis dalam catatan itu memperlihatkan konektivitas antarkota, bahkan antarfasilitas publik. Ada kereta api, ada trem. Mungkin juga terdapat bis, kendati belum tertulis dalam catatan itu. Dengan konektivitas itu, mobilitas warga untuk menyaksikan laga sepak bola jadi kian mudah. Maka di kalangan suporter Eropa muncul kultur berjalan kaki yang disebut corteo. Mereka inilah yang datang ke stadion memanfaatkan moda transportasi umum dan disambung berjalan kaki.
Konektivitas publik jadi krusial. Melalui itu sepak bola menjadi cerminan kota seutuhnya, bukan hanya direpresentasikan oleh pendukungnya saja. Kota dan sepak bola pun melebur dan menyatu, mulai dari fasilitas hingga mentalitas.