Categories
Reportase

Subsidi Energi Kotor Masih Dominan, EBT Sulit Berkembang

SOLO—Subsidi energi kotor yang digelontorkan pemerintah selama ini lebih banyak menguntungkan pengusaha ketimbang masyarakat umum. DPR RI menyebut sekitar 72-80% subsidi bahan bakar minyak (solar) bahkan dinikmati golongan kaya. Di sisi lain, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) justru kerap terhambat karena keterbatasan investasi dan kebijakan yang tak berpihak. Perlu reformasi subsidi agar pengembangan EBT dapat berkelanjutan dan menghasilkan energi ramah lingkungan.

Dilansir Siej.or.id, rata-rata porsi subsidi listrik yang kebanyakan dari PLTU sebesar 47,25% dari total subsidi energi dan rata-rata porsi subsidi BBM fosil sebesar 22,5% dari total subsidi energi. Jika dijumlahkan, berarti sekitar 70% subsidi energi digenlontorkan untuk energi kotor. Data tersebut merupakan realisasi APBN 2015-2021.

BBM jenis solar banyak dikonsumsi truk perusahaan tambang dan perkebunan seperti pengangkut batubara dan minyak sawit dalam temuan lapangan. Padahal, pemerintah melalui surat edaran dari Kementerian ESDM/No.4.E/MB.01/DJB.S/2022, tentang penyaluran BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) dan Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014, mobil truk pengangkut mineral dan batubara dilarang mengisi BBM Subsidi.

Selain BBM dari fosil, subsidi energi mengucur ke pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara. Founder sekaligus Executive Director Yayasan Cerah, Adhityani Putri, mengatakan subsidi pembangkit energi kotor itu berlangsung dari hulu hingga hilir. Bentuk subsidinya, kata Adhityani, bervariasi, mulai dari subsidi di pembangkit listriknya dalam bentuk tarif, sampai dengan subsidi infrastruktur. “Dari penambangan batubaranya sampai dengan transportasi, sampai menjadi listrik,” ujar Adhityani dalam diskusi daring bertajuk, Jurnalis dan Anak Muda Bunyikan Aksi Iklim, belum lama ini.

Subsidi Bisnis Energi Kotor

Dalam kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Cerah dan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) itu, Adhityani membeberkan begitu banyak insentif dan subsidi yang diberikan untuk bisnis energi kotor. Mirip seperti subsidi BBM, subsidi listrik dari batubara disebutnya juga membengkak. Hal ini karena kenaikan harga batubara acuan yang meningkat. “Tentu yang menikmati kenaikan komoditas ini adalah pengusaha batubara,” imbuh Adhityani.

Watchdoc Documentary dan Greenpeace Indonesia mencatat ada 16 menteri atau separuh dari total kabinet Presiden Joko Widodo berkaitan kuat dengan perusahaan tambang. Diperparah lagi, 55% anggota DPR RI, yang dianggap sebagai wakil rakyat juga pebisnis tambang. Itu baru menghitung, subsidi, belum kompensasi yang digelontorkan pemerintah untuk PLN yang ujungnya digunakan untuk mendukung bisnis pembangkit dari energi kotor. Hal itu seperti maintenance pembangkit dan jaringan transmisi.

Adhityani meyakini bisnis PLTU dan batubara tidak memiliki risiko lantaran risiko bisnis ditanggung semua oleh pemerintah. “Sampai pendanaan juga risikonya ditanggung pemerintah. Itu namanya subsidi,” sindirnya. Yang menjadi problem, semua fasilitas yang diberikan kepada bisnis energi kotor tidak diberikan pada bisnis EBT. Menurut Adhityani, pengembangan investasi sektor EBT di Indonesia seperti dihambat. Berdasarkan pantauannya, sering kali pelaku bisnis sektor EBT kesulitan mengembangkan EBT di Indonesia. “Bayangkan dia yang cari lokasi, dia yang urus sana-sini. Itu juga masih dipersulit. Kalau PLTU, lahan sudah disiapkan, tinggal main telepon saja. Kalau EBT harus keluar dulu jutaan dolar buat bikin uji kelayakan. Sudah dapat, datang ke PLN, disuruh ikut tender, yang dapat orang lain. Kan gila,” bebernya.

Dari kajian Yayasan Cerah, nilai insentif dan subsidi yang digelontorkan pemerintah untuk energi kotor ditambah nilai dari dampak kerusakan yang diciptakannya, sebenarnya masih lebih mahal daripada produk EBT. Adhityani mengusulkan perlu adanya reformasi subsidi. Menurut dia, puluhan bahkan ratusan triliun rupiah yang digelontorkan pemerintah setiap tahun untuk energi kotor perlu dialihkan untuk pengembangan dan produksi EBT. “Dengan begitu bukan saja tercipta energi ramah lingkungan, tetapi juga pasokan energi yang murah,” kata dia.

Persoalannya, pemerintah seringkali menggaungkan hambatan penggunaan energi bersih karena faktor harga. Padahal jika fasilitas-fasilitas tadi dialihkan ke sektor EBT, bukan tidak mungkin Pertamina dan PLN bisa menjual kedua produk tersebut lebih murah dari BBM dan listrik dari fosil dan batubara. Menurut Adhityani, persoalan pengembangan EBT pada dasarnya bukan di harga atau tarif. “Itu bisa hilang dengan political will. Jalannya dengan merumuskan kebijakan yang betul-betul memihak energi terbarukan dan mencabut keberpihakan terhadap energi fosil,” tukasnya.