Categories
Gagasan

Melawan dengan Koperasi

Farid Gaban, jurnalis kawakan ini sebelum berangkat untuk jalankan Ekspedisi Indonesia Baru, ekspedisi keliling Indonesia naik motor selama 420 hari datangi flat saya di Cawang, Jakarta. Dengan singkat dia katakan bahwa seluruh hasil ekspedisi yang berupa jutaan tera bites film, foto, dan artikel yang akan dihasilkan bersama Dandhy Laksono dan dua rekan muda Yusuf Priambodo dan Benaya Harobu akan dikelola oleh koperasi. Namanya Koperasi Indonesia Baru.

Dia katakan bahwa koperasi bukan hanya akan dijadikan sebagai kelembagaan penting untuk mengelola hasil ekspedisi, tetapi juga sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat atas perangai korporasi kapitalis yang dia lihat dalam ekspedisi perjalanan selama satu tahun pertamanya dalam Ekspedisi Khatulistiwa.

Di perjalanan menuju akhir Ekspedisi, saya juga sempat menemui Farid Gaban ketika sampai di Jakarta sebelum ke Wonosobo. Saya sempat bertanya, apa yang dia lihat di lapangan dalam Ekspedisi Indonesia Baru dan bagaimana perbandingan kondisi di lokasi yang sama yang dikunjungi sebelumnya dalam Ekspedisi Khatulistiwa. Dia jawab bahwa kondisinya mengalami kerusakan yang eskalatif dan lebih parah, baik dari sisi lingkungan maupun kemanusiaan.

Setelah selesai ekspedisi, saya punya kesempatan hadiri acara pemutaran salah satu film hasil ekspedisi yang diselenggarakan bersama organisasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta. Judulnya adalah “Barang Panas”. Berisi tentang perlawanan masyarakat di daerah atas proyek Geo Thermal (Gas Bumi).

Dalam akhir cerita film “Barang Panas”, oleh redaksi, yang kebetulan dinarasikan oleh Dandhy Laksono, disimpulkan bahwa proyek transisi menuju energi bersih itu harus dilakukan dengan cara yang baik. Lalu dia tambahkan masyarakat setempat harus dibiarkan memutuskan. Ditambahkan lagi, sebaiknya dimulai dengan skala kecil dulu dan masyarakat disiapkan menjadi ahli untuk mengelola. Masyarakat sebagai salah satu perwakilan di luar investor dan pemerintah juga turut terlibat yang diwakili dalam bentuk koperasi.

Dalam kesimpulan di atas, saya sepenuhnya setuju. Menurut saya, kesimpulan di atas sangat komprehensif. Merupakan jawaban bijaksana ditinjau dalam multiperspektif. Baik dari sisi pemenuhan kebutuhan energi, keterlibatan pengambilan keputusan atas proyek, dan juga tata kelola proyek.

Jawaban di atas juga sesungguhnya sesuai dengan apa yang mendasari pemikiran Farid Gaban ketika mengatakan bahwa koperasi itu menjadi solusi atas persoalan masyarakat seperti yang dia ungkapkan kepada saya sebelum berangkat.

Koperasi sebagai Gerakan Sosial

Koperasi, adalah organisasi yang lahir pertama kali di Rochdale, Inggris tahun 1844. Koperasi adalah sebagai jawaban atas persoalan serius eksploitasi kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi kapitalis. Mereka lahirkan gerakan koperasi karena di perusahaan tempat mereka bekerja, para buruh itu, tidak diberikan haknya untuk turut memutuskan hal menyangkut kepentingan hidup mereka.

Dua puluh delapan buruh itu mendeklarasikan diri sebagai pioner dalam mempraktikkan kesetaraan dalam mengambil keputusan di suatu perusahaan. Mereka tidak hanya mengangan-angankan perubahan, tetapi juga langsung mempraktikanya dengan mendirikan perusahaan. Mereka membangun toko yang dimodali, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan dikelola secara demokratis.

Mereka melawan cara kerja sistem korporasi kapitalis yang keputusan perusahaannya sepenuhnya ada di tangan pemilik modal finansial semata secara mutlak. Koperasi mereka bangun dengan sistem berikan kesempatan setara bagi semua yang terlibat di perusahaan. Mereka terapkan sistem pengambilan keputusan di perusahaan yang mereka bangun dengan berikan hak bagi setiap orang baik itu pemodal, pekerja maupun konsumennya semua sama, satu orang satu suara.

Mereka juga mengganti rezim korporasi kapitalis yang hanya mengeruk keuntungan (profit oriented) dan menumpuk kekayaan untuk investornya dengan sistem yang berlawanan dalam tujuan. Koperasi yang mereka bentuk ditujukan untuk mengejar manfaat (benefit oriented) bagi semua yang terlibat di perusahaan baik itu pemodal, pekerja, dan bahkan konsumennya.

Gerakan koperasi pertama itu dikembangkan sebagai gerakan perubahan sosial yang mendasar. Menawarkan cara untuk mengakhiri pemerasan manusia atas manusia. Mereka membuat perlawanan serius terhadap konsep pembagian manfaat yang tidak adil dalam sistem korporasi kapitalis yang berarti juga melawan dan mengakhiri sistem kapitalisme.

Ide koperasi di atas kemudian berkembang ke seluruh pelosok dunia dalam berbagai model kelembagaan. Dari model koperasi konsumen yang berikan kesempatan kepemilikan perusahaan kepada semua konsumenya seperti yang diterapkan Pionner Rochdale di atas, hingga ke model lainya seperti model Koperasi Pekerja Mondragon, Basque, Spanyol yang menerapkan model kepemilikan bagi para pekerja di perusahaaan dengan hak pengambilan keputusan yang sama bagi setiap pekerja di perusahaan.

Di berbagai belahan dunia saat ini juga telah berkembang model kepemilikan demokratis koperasi yang terapkan model koperasi multipihak (multistakeholder co-operative). Model ini terapkan sistem kepemilikkan perusahaan dari para produsen, pemodal, pekerja, dan konsumennya. Sebut saja misalnya koperasi multipihak I COOP di Korea Selatan yang mana kepemilikkanya itu meliputi para konsumen, pekerja, produsen, dan pemodal dari koperasi ini.

Saran redaktur Dandhy Laksono di narasi film “Barang Panas” sepertinya memberikan saran agar pengelolaan dari koperasi Geo Thermal itu mengikuti sistem koperasi multipihak. Di mana ada kelompok investor, pekerja, dan juga masyarakat daerah proyek yang diharapkan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam mengambil keputusan.

Mewujudkan Koperasi Berdaya Saing di Indonesia

Soal koperasi multipihak ini saya jadi teringat seorang teman, Dr. Nao Tanaka dari Jepang. Satu setengah tahun lalu dia temui saya untuk berkonsultasi soal pendirian koperasi di Indonesia. Kendala yang dia baca adalah ketika dia ingin investasi melalui suatu badan hukum koperasi itu ternyata dilarang oleh UU Penanaman Modal karena diwajibkan berbadan hukum Perseroan Kapitalis.

Dia sangat kecewa karena dia bukan hanya ingin investasi dan mendapat untung, tetapi dia ingin membangun perusahaan untuk tiga tujuan utama, yaitu perangi kesenjangan ekonomi, hapuskan dehumanisasi atau eksploitasi kemanusiaan, dan juga ingin selamatkan lingkungan. Dia bilang kalau badan hukum Perseroan Kapitalis itu tidak cocok dengan tujuan pendirian perusahaan yang dia maksudkan. Dia perlihatkan pada saya pasal-pasalnya.

Lalu saya temukan celahnya, di UU Penanaman Modal itu disebutkan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika diatur oleh UU lainnya. Nah, saya sarankan gunakan UU Perkoperasian sebagai dasar eksepsi/pengecualian. Di UU Perkoperasian masih boleh menjadi anggota luar biasa dari satu koperasi. Walaupun tetap dibatasi untuk haknya seperti tidak boleh jadi pengurus dan lain sebagainya.

Bulan lalu Dr. Tanaka ketemu saya dan dia laporkan bahwa koperasinya sudah jalan selama 6 bulan dan beroperasi di Jogja. Sudah terkumpul modal sebesar 241 juta rupiah dari kolega koleganya di Jepang. Sudah dapat proyek pengelolaan sampah dan sudah menghasilkan keuntungan dan libatkan 28 orang anggota sebagai enginer dan pemasar.

Semua cita-cita yang dia inginkan itu dia coba terapkan. Penghapusan kesenjangan dia terapkan dengan sistem pembagian yang adil dalam keutungan (Sisa Hasil Usaha/SHU). Bahkan dia hitung secara rigid dalam suatu kertas kerja yang hitung komponen pembagi keuntungan itu berdasarkan kontribusi keuangan dan nonkeuangan seperti misalnya soal komitmen, kedisiplinan, kehadiran, dan keaktifan dalam rapat dan lain-lain yang dalam penilaianya itu juga dilakukan dengan libatkan evaluasi oleh anggota independen.

Dia tak hanya ingin wujudkan keadilan dalam pembagian manfaat bagi semua, tetapi juga concern bisnisnya juga difokuskan pada pengolahan limbah untuk perbaiki kerusakan lingkungan.

Pada intinya, Koperasi Indonesia Baru, koperasi pengelola film yang didirikan Farid Gaban, Dandhy dkk, lalu Koperasi yang didirikan oleh Dr. Nao Tanaka dan juga koperasi di seluruh dunia itu adalah dapat menjadi jawaban atas kerusakan dunia yang dicengkeram oleh rezim korporat kapitalis yang hanya keruk untung dan rusak lingkungan dan hancurkan sendi sendi kemanusiaan.

Tetapi melihat kenyataan di Indonesia itu kekuatan korporasi kapitalisnya sudah sangat kuat tumpuk kekayaan, monopoli di mana-mana, pengaruhi elit politik, dan bahkan sudah sebabkan kerusakan lingkungan masif, gencet dan gusur warga, serta peras buruh dengan semena-mena maka tentu tak dapat kita lawan hanya dengan bangunan koperasi-koperasi kecil dan juga advokasi kasus oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Memang bisa, tetapi dengan gencetan kekuatan modal dan kemampuan pengaruhi elit politiknya yang sudah sangat kuat maka akan sulit diharapkan terjadi perubahan.

Kita harus melawanya dengan lebih keras, selain tetap bangun kooperasi genuine, kita harus advokasi agar aset negara dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu kita tuntut untuk kita koperasikan. Sebab melihat praktiknya saat ini BUMN atau perusahaan kita ini justru diarahkan untuk diprivatisasi alias digeser kepemilikkannya jadi korporasi persero kapitalis yang mudah dikuasai oleh kekuatan pemilik modal kapital besar. Penindasan korporasi kapitalis besar hanya bisa kita lawan dengan perusahaan. Perusahaan yang masih sah milik kita itu adalah BUMN. Ayo, kita tuntut koperasikan BUMN! Kembalikan aset ini ke tangan kita, rakyat Indonesia. Kita selamatkan hidup kita dan masa depan anak cucu kita dari cengkeram kapitalisme.