Categories
Komunitas

Belajar Mengasah Rasa lewat Joli Jolan Surakarta

Pada hari keempat social distancing akibat pandemi Covid-19 ini, saya ingin berbagi cerita mengenai komunitas baru di kota tetangga yakni Solo yang diberi nama Joli Jolan.

Ya, kata Joli Jolan ini diambil dari Bahasa Jawa jol-ijolan yang artinya adalah tukar-menukar. Tagline Ambil sesuai kebutuhanmu, Sumbangkan sesuai kemampuanmu adalah kalimat sederhana yang membuat saya tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang gerakan yang berdiri tanggal Desember 2019 ini. Faktor menarik lain adalah karena salah satu pendiri Joli Jolan merupakan seorang dosen komunitas kami di bidang transportasi yakni Mbak Septi.

Dilansir dari akun resmi @Joli_Jolan, barang-barang yang bisa saling ditukar antara lain; pakaian, buku bacaan, perlengkapan rumah tangga, peralatan sekolah, perkakas/ hiasan rumah, makanan, keperluan hewan peliharaan, dan memorabilia/ barang koleksi.

Pada 15 Februari 2020 lalu, setelah event Edukasi #1 Aman Berlalu Lintas di Alun-alun Pancasila, Anelis (Komunitas Ijo Lumut) dan saya mencoba memperkenalkan terminologi Joli Jolan kepada masyarakat Kota Salatiga. Caranya yakni dengan giveaway mainan daur ulang dari galeri Ijo Lumut. Ya, galeri edukasi dan kreasi daur ulang ini memang cukup produktif dalam menghasilkan berbagai mainan anak-anak.

Saya menilai tak ada salahnya membagikan mainan-mainan ini. Ada dua alasan utama;

  1. Cek ombak, apakah mainan anak-anak bisa diterima masyarakat, apakah bisa dimasukkan sebagai komoditas Joli Jolan.
  2. Memberikan edukasi kepada seniman-seniman cilik Ijo Lumut bahwa tangan di atas memang akan selalu lebih baik daripada tangan di bawah. 

Sayangnya pada hari itu hampir semua anak dan orang tua mengambil mainan, tetapi tidak ada satu pun yang ikut menyumbang. Well, ada dua kemungkinan alasan menurut saya.

  1. Gerakan ini memang baru dilakukan sekali sehingga banyak yang masih belum tahu dan tidak prepare mainan untuk ikut disumbangkan.
  2. Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita lebih suka mengambil barang secara gratisan dan lupa bahwa ia pun sebenarnya telah mampu menyumbangkan barang juga.

GKJ Sidomukti Salatiga ikut tertarik mengimplementasikan gerakan Joli Jolan ini di Salatiga. Hal tersebut membuat saya semangat meluangkan waktu untuk datang ke markas Joli Jolan di Jajar, Kerten, Solo, 7 Maret 2020 lalu. Saya mengamati dan belajar dari para pakar di komunitas ini secara langsung.

Sampainya di markas Joli Jolan, saya langsung disuguhi makan siang sambil ngobrol dengan teman-teman. Relawannya berasal dari berbagai kalangan; mulai dari anak sekolah, kuliahan, pekerja formal, dan nonformal. Sambil asyik ngobrol, saya melakukan pengamatan dan observasi terhadap suasana Joli Jolan yang ada di sana.

Saya mempelajari ada beberapa poin penting;

  1. Anak-anak yang datang ke Joli Jolan diberi konsumsi susu kotak. Supaya ada effort sedikit untuk mendapatkannya, si anak perlu melewati permainan melewati karpet dengan gambar telapak tangan atau telapak kaki.
  2. Pembiayaan untuk membeli susu itu didapatkan dari kotak kardus bertuliskan Donasi Parkir untuk Membeli Susu Kotak. Kotak tersebut diisi oleh para pengunjung Joli Jolan yang membawa kendaraan. Selain itu, tentu saja Joli Jolan menerima sumbangan susu kotak dari masyarakat
  3. Pengurus Joli Jolan memiliki mindset terbuka terhadap segala sesuatu. Joli Jolan tidak hanya jadi tempat untuk berbagi, tetapi juga telah menjadi ruang publik tempat bertemunya antar komunitas. Mbak Septi pun mengamini bahwa Kota Solo sudah sangat padat sampai tak memiliki ruang publik untuk komunitas bisa berkumpul seperti ini. Salah satu tujuan Joli Jolan adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut
  4. Pengunjung Joli Jolan yang datang untuk kali pertama rata-rata hanya melakukan satu mata kegiatannya saja; menyumbangkan barang kemudian pulang, atau mengambil barang kemudian pulang. Orang yang mengambil barang didata oleh tim Joli Jolan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, orang yang menyumbangkan barang rata-rata enggan untuk ikut mengambil.
  5. Mbak Septi mengiyakan bahwa orang yang mengambil tidak harus mengijoli/ membarterkan barang pada hari itu juga dan dengan nilai barang yang sama. Tidak membarterkan barang sampai kapanpun juga tidak masalah, ia tetap boleh mengambil barang lagi.

Mbak Septi menceritakan hal menarik tentang tukang becak yang datang lagi di pekan berikutnya sembari membawa empat butir telur, juga pedagang sayur membawa dua nasi bungkus untuk ditukar. Saya sedikit mbrebes mili mendengar cerita tersebut. Sambil mengamini dalam hati “Ya, rasa seperti inilah yang harus terus dirawat dan ditumbuhkan dalam hati sanubari Bangsa Indonesia. Jangan bermental miskin: Tak mungkin tak ada yang bisa disumbangkan kepada orang lain, karena setidaknya orang yang sehat itu itu pasti punya pikiran, waktu, tenaga, dan kemampuan untuk orang lain.”

Tentang Joli Jolan

Tibalah saat-saat mendebarkan ketika saya berkesempatan ngobrol empat mata dengan Mbak Septi. Saya menanyakan beberapa hal.

“Mbak, apa sih sebenarnya tujuan didirikannya Joli Jolan?”

Mbak Septi menjawab bahwa Joli Jolan adalah gerakan untuk bisa berbagi dengan orang lain. Joli Jolan ingin menjadi ruang publik tempat orang-orang bisa berkumpul, komunitas boleh membagikan ceritanya. Orang-orang bisa menyumbangkan sesuai kemampuannya maupun mengambil barang-barang sesuai kebutuhan.  “Budaya baik ini, apabila sudah mengakar kuat dalam masyarakat, akan berdampak positif apabila suatu saat nanti terjadi bencana/musibah di Surakarta: masyarakat kita sudah terbiasa mengatasi itu semua dengan berbagi dan bekerja sama, mau saling memperhatikan kebutuhan orang yang satu dengan yang lainnya,” terangnya.

Kalau meminjam istilah Bu Risma Walikota Surabaya, barangkali inilah yang disebut gerakan membangun kota yang resilience. Resilience artinya sebuah kota yang masyarakatnya memiliki ketahanan. Kereeen buat Mbak Septi dan teman-teman pendiri Joli Jolan!

Joli Jolan ini adalah gerakan non-profit. Mereka tidak berharap menimbun banyak barang di tempat demi mendapat keuntungan ekonomi. Saya lebih suka berpendapat bahwa Gerakan Joli Jolan adalah sebuah pembelajaran untuk mengasah rasa; apakah saya benar-benar butuh, adakah orang lain yang lebih membutuhkan? Apakah saya memang belum mampu menyumbangkan sesuatu, atau apakah saya sudah mampu tetapi belum mau/ belum merelakannya?

Mengingat Maret adalah bulannya Dewa Perang Aries, saya ingin mendefinisikan Joli Jolan sebagai gerakan perang melawan gaya hidup konsumtif. Gerakan ini merupakan sebuah ajakan kemanusiaan. Melalui berbagi dan bekerja sama, idealnya tidak perlu ada lagi orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan. Mari kita bersama-sama menciptakan ruang-ruang publik yang semua orang bisa datang untuk belajar lebih peduli dengan nasib sesama.

Nah, siapa di antara Teman-Teman Pembaca yang juga mau ikut terlibat dalam mengimplementasikan gerakan positif ini di Salatiga? Ditunggu kabarnya, ya.

Salatiga, 19 Maret 2020


Sumber tulisan:

http://kristantoirawanputra.blogspot.com/