Categories
Reportase

Mewujudkan Ekonomi Inklusif Bersama Pelaku UMKM Perempuan dan Disabilitas

Surakarta, 30 September 2025 – Kota Kita bersama Jalatera dan Hetero Space Solo melalui dukungan Internet Society Foundation dengan bangga meluncurkan website DIVA UMKM (Dorong Inklusi dan Visibilitas UMKM Perempuan melalui Akses Digital) atau divaumkm.id sebagai sebuah etalase digital dan wadah pembelajaran bagi pelaku UMKM perempuan, termasuk perempuan dengan disabilitas, di Solo Raya. Acara peluncuran website DIVA UMKM dihadiri oleh Walikota Surakarta Respati Ardi yang membuka rangkaian acara, serta perwakilan dari Komisi Nasional Disabilitas dan sejumlah dinas terkait dari Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar dan Klaten.

Peluncuran website merupakan puncak dari perjalanan program DIVA UMKM yang telah melibatkan 462 perempuan pelaku usaha dari Kota Solo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Karanganyar. Selama setahun terakhir, para perempuan pelaku usaha yang disebut sebagai Diva UMKM telah mempelajari beragam keterampilan penting mulai dari branding dan packaging, pemasaran digital, fotografi, dan videografi produk, hingga digitalisasi keuangan. Lebih dari 70 persen dari peserta melaporkan peningkatan kepercayaan diri dalam menggunakan alat atau platform berbasis digital dalam pengembangan usaha mereka setelah mengikuti rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh DIVA UMKM.

Website DIVA UMKM adalah bukti nyata bagaimana teknologi bisa menjadi jembatan bagi perempuan, termasuk penyandang disabilitas, untuk lebih percaya diri dan berdaya dalam mengembangkan usahanya. Kami berharap platform ini tidak hanya menjadi etalase digital, tetapi juga wadah untuk menghubungkan cerita, karya, dan potensi besar UMKM perempuan di Solo Raya,” ujar Ahmad Rifai, Direktur Eksekutif Kota Kita.

Website divaumkm.id akan menampilkan katalog produk terkurasi dari Surakarta, Karanganyar, dan Klaten, serta menyajikan kisah-kisah inspiratif perjalanan usaha para peserta program. Selain sebagai wadah promosi, platform ini juga akan dikembangkan menjadi wadah inklusif untuk menghubungkan UMKM perempuan dengan konsumen, komunitas bisnis, dan pemangku kebijakan. Proses pengembangan website divaumkm.id juga bekerja sama dengan Suarise untuk meningkatkan aksesibilitas website agar dapat dinikmati oleh semua kalangan, terutama penyandang disabilitas.

Eka Prastama Widyata, Komisi Nasional Disabilitas (KND) menekankan tentang pentingnya kolaborasi lintas sektor, “Dibutuhkan dukungan dan kerjasama dengan Kementerian UMKM, pemerintah daerah, dan swasta untuk memperluas peluang pemasaran produk dan jasa teman-teman Diva UMKM. Peserta Diva UMKM telah memahami materi yang diberikan, yang telihat dari luaran produk yang berkualitas dan mampu bersaing”.

Wali Kota Solo, Respati Ardi, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam memperkuat pemasaran digital UMKM. “Produk Diva UMKM akan kami integrasikan ke dalam E-Katalog agar kebutuhan produk maupun jasa di lingkungan pemerintah dapat terhubung langsung dengan penyedia lokal,” ujarnya.

Merayakan Warga Berdaya, Tumbuh Bersama

Setelah peluncuran website, acara dilanjutkan dengan talkshow interaktif bersama pemerintah, komunitas UMKM, organisasi penyandang disabilitas, dan tokoh inspiratif. Menggandeng panelis dari pelaku usaha perempuan serta perwakilan pemerintah, diskusi ini bertujuan untuk menggarisbawahi pentingnya pemanfaatan teknologi untuk memperluas pasar sekaligus memperkuat ekosistem UMKM yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan. Adapun jajaran panelis dalam talkshow tersebut merupakan Yonas Dian dari Deputi Bidang Kewirausahaan, Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Yusa Bramidha, S.STP, MM selaku Fungsional Pengembang Kewirausahaan Balai Latihan Koperasi, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah; Asri Saraswati selaku Founder Agradaya; Ludovica Diani sebagai peserta Training of Trainers DIVA UMKM; dan Qoriek Asmarawati dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Klaten.

Rangkaian kegiatan juga diramaikan dengan expo UMKM dan lokakarya kreatif yang menghadirkan karya-karya peserta program, seperti lokakarya totebag eco print yang difasilitasi oleh Diva Reno Suryani (@godhongkoe), lokakarya pembuatan scrunchi yang difasilitasi oleh Ajeg Social (@ajegsocial), serta lokakarya handbuild clay pottery yang difasilitasi oleh Kamikamu (@kamikamu.cc). Aktivitas ini menjadi simbol semangat kolaborasi dan inovasi yang diusung DIVA UMKM sejak awal. Melalui acara puncak dari rangkaian program DIVA UMKM ini, diharapkan lahir semakin banyak peluang bagi pelaku usaha perempuan untuk berkembang, memperluas jangkauan pasar, serta memperkuat posisi UMKM sebagai motor penggerak ekonomi yang inklusif di Solo Raya.

Informasi lebih lanjut:
Ulfia Atmaha
ulfia@kotakita.org


Tentang Program DIVA UMKM
DIVA UMKM (‘Dorong Inklusi dan Visibilitas UMKM Perempuan melalui Akses Digital’) merupakan kolaborasi antara Kota Kita, Jalatera, dan Hetero Space Solo yang didukung oleh Internet Society Foundation. Program ini akan melibatkan perempuan, termasuk perempuan dengan disabilitas, pelaku UMKM di Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Klaten. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perempuan pelaku UMKM dan mengembangkan model peningkatan kapasitas yang efektif dan berkelanjutan. Sejumlah 462 perempuan pelaku usaha telah mengikuti serangkaian pelatihan mengenai digitalisasi usaha termasuk branding dan packaging, pemasaran digital, foto dan video produk, serta digitalisasi keuangan.

www.divaumkm.id

Categories
Gagasan

Membersihkan Piring Kotor: Merawat untuk Melawan dan Menjaga Keberlangsungan Gerakan Sosial

by Nurdiyansah Dalidjo, Project Multatuli
November 21, 2024

Merenungkan tentang “merawat” (to care) membuat saya berpikir. Merawat sesungguhnya adalah keniscayaan untuk menghubungkannya pada keberlangsungan hidup. Dan bicara soal itu, saya dan mungkin banyak dari kita terlintas pada kenangan masa kecil.

Saya teringat ibu saya dan menyadari bahwa saya adalah anak yang dibesarkan secara kolektif. Maksudnya, bukan eksklusif hanya oleh orang tua, melainkan komunitas tempat saya pernah tinggal.

Ibu saya perempuan berpendidikan dan berkarier. Ia guru. Ia selalu bangun tidur paling pertama setiap hari. Ia menyiapkan sarapan dan membenahi rumah sebelum pergi kerja di luar rumah. Terkadang, saya ikut dibawanya mengajar di kelas, tapi biasanya saya lebih sering dititipkan ke tetangga.

Pepatah “it takes a village to raise a child” benar-benar nyata kami alami. Sebab, mana mungkin ibu saya mampu membayar pengasuh dengan gaji guru pegawai negeri di bawah upah minimum? Dan para tetangga kami, khususnya ibu-ibu, menawarkan diri agar saya dititipkan saja pada mereka yang sudah punya anak-anak remaja. Tentu mereka berpengalaman mengurus anak.

Maka, saya tumbuh menjadi anak yang berpindah-pindah dari satu tetangga ke tetangga lain. Di kesempatan berbeda, ibu saya membantu mereka saat ada hajatan. Kelak, ketika saya besar dan tidak tinggal di permukiman yang sama, ibu menasihati agar sesekali saya berkunjung ke rumah-rumah tetangga lama kami itu.

“Merawat silaturahmi,” kata ibu agar saya jangan lupa pada kepedulian dan kebaikan mereka. Dan, meski tak ada hubungan keluarga, persaudaraan kami terjalin panjang, bahkan hingga kini. Saya pun baru menyadari bahwa kerja perawatan itu penting, dibutuhkan, dan berdampak panjang.

Saya menulis kenangan kecil itu bukan bermaksud untuk meromantisasi bagaimana saya kecil dirawat ibu-ibu di perumahan tentara di era Orde Baru. Belakangan saya paham itulah bentuk kasih atau kepedulian kolektif (collective care). Dan, di masa kaum perempuan didomestikasi dengan ideologi ibuisme sebagai pendamping ayah dan pengayom keluarga, istri-istri prajurit rendahan punya caranya sendiri untuk tumbuh bersama, membangun solidaritas dan perlawanan dalam lingkup kecil.

Tetapi,  sayangnya, harus saya akui, itu tak selalu kita hargai, bahkan tidak kita pahami kehadirannya.

Kerja perawatan (care work) kerap dilekatkan sebagai hal yang sudah semestinya atau dianggap remeh (taken for granted). Kita sering gagap atau gagal menyadari karena kita terbiasa melabeli kerja-kerja perawatan sebagai ranah domestik selayaknya prototipe keluarga. Terutama di kalangan keluarga yang secara tradisional heteronormatif, pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan perempuan: nenek, ibu, kakak perempuan, pekerja rumah tangga (PRT), dan transpuan. 

Pekerjaan perawatan adalah pekerjaan yang selama ini tidak berbayar (seperti pelekatan pada pekerjaan istri atau ibu rumah tangga atau peran menjadi ibu yang seolah sepatutnya mengurus anak dan rumah); atau berupah murah (seperti PRT atau buruh perempuan); atau tidak berupah sama sekali (seperti banyak dilakukan transpuan dan kawan-kawan queer lain kepada sesama komunitas queer yang diabaikan keluarga). 

Di satu sisi, kita melihat kerja perawatan sebagai bentuk kebaikan dan kepedulian (kindness and caring) seperti mungkin banyak dari kita (ketika kecil) pernah merasakan diurus ibu dan punya keluarga sebagai tempat bernaung. Namun, di sisi lain, kita menyadari bahwa dalam kapitalisme (dan “pembangunan”), kerja-kerja perawatan itu bisa punya makna berbeda yang terhubung pada penindasan terhadap kelompok tertentu.

Memaknai Perawatan

Dalam publikasi berjudul “Care Work and Care Jobs for the Future of Decent Work,” International Labour Organization (ILO) mengutarakan bahwa pekerjaan perawatan meliputi dua aktivitas yang tumpang tindih. 

Pertama, aktivitas perawatan langsung, personal, dan relasional, seperti orang tua mengasuh bayinya atau pasangan merawat pasangannya yang sakit. Kedua, aktivitas perawatan tidak langsung seperti memasak, membersihkan, dan merapikan. Dari situ, kita dapat meneruskannya dengan melihat pemisahan kategori untuk pekerjaan perawatan tak berbayar (tanpa imbalan uang) dan pekerjaan perawatan yang berbayar (umumnya juga berupah murah) seperti guru dan perawat. 

Selain itu, ada perawatan yang berbasis pada hubungan keluarga (maksudnya ikatan darah) dan bukan keluarga. Ibu rumah tangga dan PRT adalah bagian dari tenaga kerja perawatan yang mengaburkan kategori pekerjaan perawatan karena keduanya memberikan perawatan langsung dan tak langsung di ruang domestik. Tetapi, ibu rumah tangga tak berupah, sedangkan PRT berupah sangat rendah, bahkan belum diakui penuh sebagai pekerja. (Sampai sekarang, lebih dari 20 tahun, Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT masih mangkrak di DPR.) 

Menurut ILO, mayoritas pekerja perawatan di seluruh dunia dilakukan oleh pengasuh tak berbayar; kebanyakan pekerjanya adalah perempuan dan anak perempuan dari kelompok dengan keterbatasan akses sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi.

Dalam kacamata lebih besar, kita sadar bahwa pekerja perawatan, untuk berbagai kategori,  didominasi oleh perempuan yang bekerja di bawah kondisi memprihatinkan (tidak layak) dan mendapatkan upah atau penghargaan rendah. 

Ironisnya, para pekerja perempuan itulah yang mendominasi perekonomian informal kita. Tidak sulit bagi kita melihat keterhubungan itu semua dengan ketimpangan gender dalam segala lini di dunia yang patriarki, cis-heteronormatif, dan binerisme.

Namun, kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali memang didesain untuk tidak mempedulikan kerja perawatan. Atau, setidaknya, mengondisikan kita enggan membuka mata dan telinga pada pentingnya merawat. Sebab, dengan begitulah kita sesungguhnya sedang dilemahkan. 

Kita terbawa pada jargon “kemandirian” (independensi) yang memiliki tendensi pada keutamaan individualitas (kemampuan melakukan segala hal sendirian) sebagai corak utama dari kultur kapitalisme dan neoliberalisme, bukan pada makna kemandirian sebagai sesuatu yang terhubung pada kebebasan (lepas dari keterikatan atau berdiri di atas kaki sendiri) dalam konteks dekolonisasi dan dekolonialisasi. Pada kenyataannya, kita tidak pernah benar-benar bisa melakukan semua hal sendirian! 

Coba bayangkan, apakah eksekutif urban atau pejabat perusahaan atau pemerintah selalu mencuci dan menyetrika baju sendiri? Siapa yang diberikan beban ganda untuk merawat anak dan rumah ketika lelaki berkeluarga punya karier cemerlang? Apakah mungkin keluarga (orang tua dan anak-anak) yang sukses di profesi dan pendidikan tetap dapat berfungsi secara optimal tanpa PRT? 

Apakah tuan tanah dapat mempertahankan privilese dan kekayaannya tanpa buruh tani yang merawat tanah mereka? Apakah aksi demonstrasi mahasiswa dapat bertahan berhari-hari tanpa ada kelompok yang menyuplai makanan atau membuka dapur umum dan merawat yang terluka? 

Kerja perawatan dibutuhkan dan kita tidak dapat berjalan sendiri tanpa orang-orang yang berkorban untuk mengambil peran dalam merawat. Sampai sini, saya ingin bilang bahwa pilihan terhadap siapa saja yang mengambil peran perawatan sebetulnya telah berani melawan dan menegaskan tindakan revolusioner.

Buku The Care Manifesto yang ditulis The Care Collective (Andreas Chatzidakis, Jamie Hakim, Jo Littler, Catherine Rottenberg, dan Lynne Segal) menyatakan bahwa “ketergantungan pada perawatan telah dianggap patologis, alih-alih diakui sebagai bagian dari kondisi manusiawi kita.” 

Sehingga, dengan bertahan merawat kerja perawatan secara kolektif di mana pun dalam kehidupan kita, kita telah menormalisasi bahwa benar kita memiliki kebutuhan pada perawatan. Dan, dengan tetap membawa praktik keperawatan sebagai bagian dari gerakan sosial kita, adalah upaya mengakui dan merawat kesalingtergantungan (interdependensi) di antara sesama. 

Dengan begitu, kita dapat lebih terfokus pada saling menjaga, peduli, dan bersolidaritas ketimbang mengorbankan kelompok tertentu (biasanya lagi-lagi perempuan atau kelompok minoritas lain) untuk mengalami kelelahan dan beban ganda dalam kerja perawatan yang tak diakui, tak dihargai, dan seringkali dianggap tak penting.

Pada banyak situasi, pengabaian itu menjelma pada pembiaran terhadap kerja (dan pekerja) perawatan pada kondisi kerja yang tidak menguntungkan serta kelelahan fisik dan mental (burnout) tanpa dukungan apa-apa.

Refleksi dari Gerakan Perempuan dan Minoritas

Gerakan sosial secara umum sepatutnya terus melihat kerja-kerja perawatan sebagai pondasi gerakan. Saya meyakini gerakan sosial yang solid, efektif, dan berumur panjang mensyaratkan dukungan yang nyata dan kuat dalam membangun kerja perawatan, terutama perawatan kolektif. 

Berbeda dengan self-care yang meningkatkan kualitas kehidupan kita sebagai individu, perawatan kolektif mendesak kita untuk membangun keterhubungan: melihat kerja perawatan sebagai perihal yang diupayakan sekaligus tanggung jawab bersama komunitas/organisasi/gerakan, termasuk kesehatan mental.

Tentu saja, ia bukan perkara mudah, meski jangan kita katakan sebagai sesuatu yang terlampau sulit dan tak mungkin. Sebab, dengan begitu, kita berbagi beban dan tanggung jawab untuk merasa tidak sendirian (teralienasi) di suatu ruang. Dan, kita tak lagi punya alasan untuk meremehkan apalagi mendudukkan perawatan bakal datang dengan sendirinya.

Kerja perawatan perlu dibangun dan dirawat. Dalam aktivisme, upaya itu adalah politis karena berkontribusi pada kelangsungan napas kerja gerakan. Jadi, ketika kita mengupayakan membangun gerakan sosial yang solid, efektif, dan berumur panjang, kita perlu merefleksikan diri bersama dan kritis bertanya: bagaimana orang-orang di dalam organisasi/gerakan hendak mengakui, menghargai, dan memberikan dukungan pada kerja perawatan maupun yang merawat?

Perhatian pada perawatan itu bukan sesuatu yang mengada-ada atau utopis. Sejarah gerakan sosial kita, khususnya gerakan sosial berbasis identitas minoritas dan seringkali secara kuantitas relatif kecil, kaya akan pengalaman kerja-kerja perawatan. Meski kecil, bukan berarti tak penting atau tak bermakna. 

Kartini, pemikir dan tokoh Jawa yang kemudian berpredikat Pahlawan Nasional Indonesia, sebetulnya telah menyadarkan kita pada pentingnya kerja perawatan sebagai sesuatu yang politis dan perjuangan revolusioner yang nyata di era kolonialisme. Ia tidak hanya menulis esai dalam bentuk surat, tapi juga membangun sekolah untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar melek huruf. Ia bahkan menjadi guru untuk itu. 

Kelak, ketika Indonesia merdeka, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) turut melanjutkan salah satu warisan Kartini itu lewat program pemberantasan buta huruf dan pembangunan Taman Kanak-kanak Melati. Para anggota organisasi perempuan yang berdiri tahun 1950 itu pergi ke desa-desa dalam memberikan pelayanan mengajar baca tulis.

Begitu juga gerakan LGBTIQ+ yang dimulai komunitas transpuan pada akhir 1960-an dan berkembang pada dekade selanjutnya. Perjuangan yang diawali oleh organisasi-organisasi pelopor transpuan, seperti Jajasan Wadam DCI-Djaja (JWD), Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), dan Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos), membangun wadah yang bercorak keanggotaan dan keutamaan merawat komunitas yang mengalami stigma, diskriminasi, dan kekerasan, termasuk oleh aparat. 

Secara umum, komunitas LGBTIQ+ yang “terbuang” dari tatanan keluarga dan tak sedikit yang hidup di jalanan, membangun kerja berbasis perawatan dengan memaknai ulang arti/fungsi “keluarga” sebagai unit sosial yang menyediakan kerja perawatan langsung, personal, dan relasional. Namun, merawat itu dilandaskan pada ketertindasan dan solidaritas identitas queer, bukan hubungan darah (sebagian mengistilahkannya dengan pembangunan chosen family). 

Pun ketika krisis AIDS melanda. Pengabaian dan peminggiran orang-orang queer (terutama transpuan dan gay) dalam sistem pelayanan kesehatan, akhirnya mengorbankan komunitas queer dalam epidemi HIV/AIDS pada 1980-an dan 1990-an. Kerja-kerja perawatan dilakukan lewat pengadaan layanan konsultasi hotline, tempat tinggal, pendampingan dan perawatan orang dengan HIV positif (ODHIV), serta kampanye dan advokasi yang mendesak inklusivitas perawatan, khususnya kesehatan medis.

Kita juga bisa belajar dari salah satu benih pokok dalam gerakan Reformasi 1998.

Suara Ibu Peduli, sebuah gerakan politik yang sebagian besar dimotori kelompok aktivis perempuan, menjadikan momentum kelangkaan dan mahalnya harga susu sebagai usaha subversif untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Puncaknya, kita bersama-sama berhasil menyelenggarakan demonstrasi di Bundaran HI pada 23 Februari 1998. Aksi ini, dalam ungkapan Gadis Arivia di makalahnya pada peringatan sembilan tahun Reformasi dengan judul “Politik Representasi Suara Ibu Peduli, sebagai “aksi feminis”. 

Dan, kerja-kerja perawatan itu, yang seringkali luput dalam narasi seputar demonstrasi besar mahasiswa ‘98 yang berujung pada pemunduran diri Sang Diktator, adalah dukungan berupa dapur umum dan “nasi bungkus Reformasi” bagi para demonstran yang dipelopori kaum ibu atas dasar kepedulian untuk merawat.

Dalam gerakan sosial, kerja-kerja perawatan memang jarang menghasilkan potret favorit yang heroik, semacam lelaki muda maskulin yang berteriak merdeka sambil angkat senjata di medan perang atau mahasiswa yang merobohkan pagar simbol tirani. Pada situasi tertentu, kita memang perlu aksi anarki atau radikal.

Tetapi, bukan berarti itu mengabaikan peran penting dari orang-orang yang merawat dan kerap dilekatkan pada aspek feminin yang dianggap subordinat. Membuka dapur umum, menyediakan layanan pertolongan pertama (paramedis), mendampingi yang ditangkap, dan mengobati yang terluka secara fisik dan mental, dapat dilakukan oleh siapa pun.

Pembelajaran tentang community care dari gerakan perempuan dan gerakan LGBTIQ+ menegaskan konteks dan wujud nyata dari interdependensi dalam hal perawatan. Ia jelas tak mungkin dipisahkan dari makna solidaritas dan cita-cita perubahan sosial yang lebih baik. 

Tentu saja, hal sama sudah dilakukan dalam gerakan nelayan, tani, miskin kota, masyarakat adat, disabilitas, PRT, dan kelompok minoritas lain. Kita juga sudah belajar dari bagaimana kita melewati pandemi COVID-19, yang minim kehadiran perlindungan negara, secara sadar kita didesak pada pilihan untuk harus saling rawat (dirawat dan merawat) agar bisa bertahan hidup dalam krisis. Pengalaman itu telah kita praktikkan dan lalui bersama!

Membersihkan Piring Kotor 

Sementara di sektor pembangunan, yang dekat dengan gerakan sosial maupun aktivisme, kerja-kerja perawatan kerap luput atau seringkali dianggap tidak perlu didukung.

Secara spesifik, pada konteks kemitraan dengan lembaga donor, dukungan anggaran atau hibah (grant) dibatasi pada usulan proyek soal advokasi kebijakan, kampanye, pemberdayaan, publikasi, dan lain-lain dalam kategori “aktivitas”. Ia menyisakan biaya-biaya atas dukungan kantor (overhead) yang tak lebih dari 10-30 persen, bahkan sama sekali tak ada jika itu bukan core funding (dukungan finansial yang menutupi biaya dasar inti organisasi).

Di sini, ranah domestik organisasi diposisikan seakan  minor padahal ia tulang punggung bagi kelangsungan kesejahteraan (welfare and well-being) staf dan kerja organisasi di ranah publik. Ini termasuk urusan penggajian dan fasilitas lain yang dibutuhkan untuk merawat organisasi dan orang-orang di dalamnya. 

Kerja perawatan pun seringkali dilihat sebagai bagian dari “service delivery” sehingga dinilai tidak perlu mendapatkan dukungan. Padahal, kerja-kerja merawat tata kelola proyek pembangunan memicu dampak kesehatan mental pekerja.

Praktiknya, ada kebutuhan konseling, misalnya, tapi tidak selalu bisa dipenuhi oleh organisasi. Karena ketergantungan organisasi pada lembaga donor, yang mengabaikan kerja perawatan, maka organisasi itu sangat terbatas atau bahkan tidak punya sumber daya dalam mendukung perawatan kolektif.

Dengan demikian, ketiadaan dukungan pada perawatan dianggap normal. Ia menjadi risiko ditanggung sendiri. Jika bukan karena alasan independensi individu untuk mengurus diri sendiri, ada dalih bahwa ya begitulah kerja gerakan sebagai labor of love.

Padahal, sesungguhnya, lewat merawat itulah cinta dan kasih dapat tumbuh dengan subur, sehingga membuat orang-orang dan organisasi/gerakan bisa saling membutuhkan sekaligus berkembang beriringan.

Kenyataannya, kita sadar bahwa tak ada pesta (untuk menyebutnya sebagai aksi massa besar atau keberhasilan proyek pembangunan) yang tidak meninggalkan piring kotor. Dan pernahkah kita termenung bagaimana atau siapa yang membersihkan dan merapikan piring kotor?

Membangun Ekosistem Perawatan

Sampai sini saya ingin menegaskan kembali bahwa orang-orang yang telah mengambil peran merawat adalah orang-orang yang sesungguhnya aktif melawan dan bertindak revolusioner.

Itu bukan sekadar karena merawat tidak mudah, melainkan dengan merawat kita telah melakukan lompatan besar untuk mendobrak banyak hal.

Maka dari itu, ruang domestik sama berharganya dengan ruang publik; bahwa kita sadar perempuan dan kelompok minoritas punya lapis ketertindasan dari kerja perawatan yang dilakukan dan diabaikan oleh banyak pihak atau sistem (negara); bahwa merawat dapat menempatkan kita untuk tidak tercatat dalam sejarah; bahwa merawat menaruh kemanusiaan sebagai keutamaan (human being as a center); bahwa merawat membuat cinta kasih dan empati menjadi terbuka dan mudah diakses (to make love more accessible); bahwa merawat menjaga keberlanjutan yang melampaui berbagai tantangan.

Kita perlu melihat perawatan sebagai perspektif, pendekatan, dan infrastruktur yang melengkapi kelangsungan daya hidup. Perawatan harus menjadi hal universal di berbagai ranah dan diarusutamakan sebagai perihal pokok untuk dibangun dan dirawat sebagai serangkaian elemen dan jejaring yang saling dibutuhkan (interdependen), terkait, dan beraturan (dalam komunitas/organisasi/gerakan).

Ujungnya, ia membentuk dan menyediakan satu kesatuan utuh dalam merawat secara bersama. Dalam konteks ini, kita dapat menyebutnya ekosistem perawatan (ecosystem of care) yang mencakup ragam sektor dan dimensi, mulai dari fisik, mental, intelektual, sosial, spiritual, hingga emosional.

Kata kunci interdependensi, keterhubungan, dan keteraturan mensyaratkan kita untuk menjalin relasi. Sehingga terbangun kebutuhan, kesepahaman, dan keterlibatan dalam proses identifikasi dan respons terhadapnya. Misalnya, apa sistem yang sudah ada dan perlu dibangun, siapa yang membutuhkan apa, siapa yang bisa melakukan apa (termasuk menyadari yang terabaikan/marginal). 

Dan, situasi yang menantang adalah memaknai dan mengkontekstualisasikan care dalam komunitas/organisasi/gerakan. Kita menyadari bahwa kesadaran pada nilai dan perilaku terhadap perawatan muncul dari bagaimana kita memahami komunitas/organisasi/gerakan lewat “bahasa” atau cara kita mengenalinya sebagai ruang, perasaan, dan koneksi. Di sana, kita berkumpul, bergembira, berbincang, dan berpartisipasi (berkolaborasi) secara bermakna dan bersama-sama.

Sebuah ekosistem perawatan mungkin tampak dari luar sebagai hutan tak berpenghuni. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dan berakar kokoh, menaungi beragam tanaman kecil dan satwa. Tanah-tanah subur dilapisi dedaunan kering yang mengembalikan nutrisi. Ada sungai jernih mengalir sepanjang tahun. Tapi, di sanalah masyarakat adat hidup bersama hutan adatnya. Mereka membangun relasi saling membutuhkan dan menguntungkan. 

Hutan menyediakan makanan dan segala kebutuhan, begitu pun masyarakat adat menjaga dan merawatnya dari pengrusakan dan eksploitasi.

Ecosystem of care, seperti halnya hutan, bukan ruang hampa dan tak berpenghuni. Kelestariannya, seperti juga keberlangsungan komunitas/organisasi/gerakan, ditentukan oleh makhluk hidup yang ada di dalamnya untuk aktif berpartisipasi saling menjaga interdependensi, keterhubungan, dan keteraturan untuk merawat bersama dan menjadikannya sebagai praktik keseharian. 

Apa yang sudah dilakukan para aktivis perempuan dengan Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP), misalnya, secara kolektif merawat eksistensi dan pengembangan warisan intelektualitas perempuan di masa lalu dan menumbuhkembangkannya. Ada juga Queer Indonesia Archive (QIA) yang merawat arsip sejarah dan tokoh-tokoh penting gerakan LGBTIQ+ di Indonesia yang dilakukan oleh komunitas queer. Begitu pun gerakan masyarakat adat yang menjadikan kolektivitas merawat sesama komunitas dan wilayah adat sambil memperjuangkan hak kolektif. 

Sementara dalam gerakan jurnalisme publik, Project Multatuli–tempat saya bekerja sebagai katakanlah yang membersihkan piring kotor—terus mencoba merawat kerja-kerja jurnalistik sebagai pilar demokrasi dan melayani suara-suara yang dipinggirkan bersama publik untuk keberlanjutannya melalui program membership Kawan M

Selain itu, kita tahu ada banyak bentuk gerakan, kolektif, atau organisasi non-profit yang memilih kerja-kerja perawatan dalam beragam wujud sebagai fokus kerja, mulai dari rumah singgah, pendampingan korban kekerasan seksual, layanan konseling, penitipan anak (daycare), hingga media mungil dan independen berkepentingan publik.

Pada akhirnya dan harapan saya, kerja perawatan dapat melatih kita membangun kesadaran atas penindasan secara nyata dari dalam diri dan lingkungan sekitar. Juga memupuk kepedulian, empati, dan ruang untuk kita bergerak bersama yang semoga bisa bernapas panjang. Kita harus mengakui, menghargai, dan berpartisipasi pada kerja perawatan itu sendiri.

Terima kasih untuk terus merawat!

Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.

Categories
Komunitas

Webinar Women Eco Talk: Perempuan Pelopor Lingkugan

Halo teman-teman pelajar putri! 🌻

Masalah sampah menjadi isu serius yang sudah seharusnya membutuhkan perhatian kita semua. Pentingnya memberikan edukasi yang benar untuk meminimalisir berkembangnya sampah yang semakin tidak terkendali.

Koordinator Pusat Korps PII Wati mempersembahkan sebuah webinar dengan judul “Perempuan Perempuan Bijak Konsumsi, Menjaga Bumi Menjaga Masa Depan”

Dengan pemateri yang super kece, yakni :
🗣️ Narasumber : Sukma Larastiti
📌 Relawan Komunitas Jolijolan
📍 Domisili Jerman
👤 Moderator: Shafiyah Lu’luah Nadirah
🔗 Kadiv. KPKP Korpus Korps PII Wati

Penasaran? Catat nih jadwalnya, insyaaAllah kita akan agendakan pada :

Hari : Sabtu, 13 Juli 2024
Waktu : 19.30 WIB
Platform : Google Meet
Link : https://meet.google.com/oaq-pdiu-ewm

Contact Person : +62895365200808 (Salwa Fahrizza)

Follow Instagram kami :

  • https://www.instagram.com/pbpii.official
  • https://www.instagram.com/piiwati
  • https://www.instagram.com/joli_jolan
Categories
Gagasan

Perempuan ‘Pemulung Modern’ di Jawa Timur: Memilah dan Mengelola Sampah Atas Nama Kerja Sosial

Project Multatuli
22 February 2023

DUDUK DENIK ARIE WAHYUNI (47) tak pernah tenang. Selama dua jam wawancara, ia berkali-kali bangun menerima tamu dan menjawab pesan di ponselnya.

Hari itu keramik di salah satu kamar sedang diperbaiki. Debu dan pekerja bangunan lalu-lalang di ruang tamu, yang juga disesaki lemari, kursi, meja komputer, kantong filter tembakau sampai tumpukan pupuk.

“Ya, begini ini, di rumah campur-campur, ada barang-barang bank sampah, gudang, kantor, tempat tinggal, semua jadi satu. Saking nggak ada tempat lagi,” kata Denik.

Tiga anak Denik tidur bersama di kamar utama di lantai bawah, yang hari itu keramiknya diperbaiki. Di lantai dua, ada empat kamar; tiga kamar disewakan untuk kos-kosan. Satu kamar lain untuk penyimpanan maggot, belatung pengurai sampah organik untuk pembuatan pupuk.

Sudah hampir tiga tahun, Denik bergerak mengumpulkan, memilah, dan mengolah sampah bersama warga pengurus RT di Kelurahan Tanjung Perak (sebelumnya bernama Kelurahan Perak Utara, Surabaya). Ia adalah salah satu pendiri dan ketua dari kegiatan kolektif yang diberi nama Bank Sampah Wani.

“Pokoknya semangatnya kayak Bonek, wani!” katanya.

Penunjukan Denik sebagai ketua karena ia paling vokal dan bersemangat di antara warga lain yang nyaris menyerah dengan wacana ini. Padahal, ia sudah sibuk bekerja sebagai pengawas di perusahaan kontraktor dan mengurus keluarga.

Kehadiran bank sampah itu berawal dari keinginan rukun warga mengikuti lomba Desa/Kelurahan Berseri (Bersih, Sehat, Lestari) Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Manajemen bank sampah yang rumit, sejak menyusun pengurus, gudang, hingga imbal balik yang tidak jelas, membuat warga kurang tertarik.

“Tapi, saya ini orangnya memang keras. Kalau memang syaratnya itu, ya, kenapa nggak dicoba dibuat dulu? Nah, waktu itu saya langsung ditunjuk jadi ketua. Hmm.. ya, ora opo-opo, tapi sing jadi pengurus bojone kalian, yo!” kata Denik membalas bapak-bapak pengurus RT.

Namun, permintaannya sulit jadi kenyataan. Para bapak pengurus RT gagal membujuk istri mereka bergabung mendirikan bank sampah. Dari belasan pengurus RT, hanya ada empat ibu yang bersedia membantu Denik.

Tapi, belum lama berjalan, satu pengurusnya mundur.

“Yang satunya ini mikir dia butuh duit buat nambah-nambah kebutuhan karena memang dia nggak terlalu mampu. Ya wajar juga, namanya ini memang kerja sosial,” kata Denik.

Denik bersama tiga ibu pengurus lain mencari tahu via mesin pencari Google untuk segala hal tentang kegiatan pemilahan sampah. Mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman tentang bank sampah. Mereka belajar cara-cara mendirikan bank sampah dari layanan pendampingan manajemen sampah Bank Sampah Induk Surabaya (BSIS).

Sebagai modal awal, tim kecil Bank Sampah Wani meminjam Rp500 ribu dari kas RT untuk membeli timbangan, karung, dan alat tulis kantoran. Untuk gudang, warga setuju menyisihkan sebagian ruang kecil yang biasa dijadikan tempat penyimpanan aset RT.

Denik dan tim mulai mengumpulkan sampah di tingkat RT. Ketika itu, pengumpulan terbatas pada barang-barang yang bisa dijual dengan harga lumayan.

“Botol plastik seperti Aqua itu kita terima. Tapi nggak terima sama labelnya, nggak laku karena katanya nggak bisa didaur ulang. Kita juga terima kardus-kardus dan kertas,” kata Denik.

Keterbatasan tenaga dan waktu para pengurus membuat proses pengumpulan hanya dilakukan sekali sebulan. Setelah terkumpul, sampah kemudian dipilah.

“Nah, di sini bapak-bapak pengurus RT ikut bantu. Nggak bisalah kalau perempuan semua angkat-angkat. Jadi, misalnya suami saya itu sekretaris RT, di bank sampah dia  di bagian pemilahan.”

Sampah yang sudah dipilah lalu dijual ke Bank Sampah Induk Surabaya. Dari sekitar puluhan kilogram sampah yang terkumpul, mereka dapat keuntungan antara Rp20 ribu – Rp50 ribu. Uang itu pun harus dikumpulkan untuk membayar utang modal awal ke kas RT.

Meniru sistem perbankan, bank sampah mengajak warga menabung barang bekas untuk selanjutnya dijual. Hasil penjualan kemudian disimpan dalam kas bank sampah, yang bisa dicairkan  setiap saat. Nasabah bank sampah juga menerima buku tabungan untuk memantau berapa banyak uang yang terkumpul dari menabung sampah.

Bank sampah unit seperti Bank Sampah Wani menetapkan harga beli yang lebih rendah ke nasabah ketimbang harga di bank sampah induk demi menutup biaya operasional saat pengumpulan, pencucian, dan pemilahan sampah.

Pada awal-awal operasionalnya, Denik kerap ditanya warga tentang berapa banyak keuntungan yang bisa didapatkan dari menjual sampah. Denik tak mampu menjanjikan apa-apa. Di tengah situasi itu, salah satu pengurus bank sampah kembali mundur.

“Kader tapi keder, karena nggak digaji. Yo, ora opo-opo.”

Semakin berkurangnya pengurus tak membikin Denik patah semangat. Ia punya gol bank sampahnya tidak sekadar mengumpulkan dan menjual, melainkan juga bertekad memajukan operasional Bank Sampah Wani.

“Ya sudah kita kayak orang-orang ngemis gitu. Ke RT-RT lain datang, sosialisasi buat minta sampah, ha ha ha…”

Ia meminta surat pengantar ke kelurahan untuk mengurus surat keputusan bank sampah ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya. “Minta pengantar ke Pak Lurah itu perjuangan. Betul-betul dipersulit padahal kata DLH itu gampang.”

Sayang, semangat Denik terhalang pandemi. Bank Sampah Wani terpaksa vakum karena pembatasan kegiatan dan adaptasi terhadap wabah terlebih dahulu.

Olah Ide dari Sampah

Awal 2021, Denik dan tiga pengurus lain mulai mengumpulkan kembali semangat yang terputus pandemi.

“Kita mulai lagi kumpulkan sampah-sampah warga. Di situ ternyata warga mulai nagih-nagih. Nggak mau kalau cuma sebulan sekali ambilnya,” kata Denik.

“Aduh, tenaga kami juga terbatas. Kita juga nggak ada gudang,” imbuhnya. “Dari situ sebenarnya saya bingung, tapi jadi semangat juga.”

Ia kembali mengurus SK Bank Sampah ke kelurahan. Kali ini usahanya sukses. Rencana untuk mendaftarkan BSW ke lomba Desa/Kelurahan Berseri dilanjutkan. Selain BSW, juga ada dua RW lain di Kelurahan Perak Utara yang mengikuti lomba serupa.

Di tengah proses itu, ia terus memikirkan cara agar bank sampah unit tak sekadar memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain. Ide mengolah sampah pun muncul.

“Pokoknya di kepalaku itu banyak ide, gimana ini nggak cuma gini-gini aja,” katanya.

Denik, yang semula tidak menerima sampah saset berlapis foil karena harga jualnya rendah, mulai berani mengambil dan mengolahnya jadi beragam kerajinan. Awalnya, Denik mengajak pengurus dan warga membuat kerajinan dari sampah bekas, lagi-lagi bermodal panduan di internet.

Aneka jenis tas, taplak meja, hingga tempat tisu hasil olahan sampah bekas itu dijual di bazar-bazar sekolah dan kelurahan dengan harga Rp12 ribu-Rp30 ribu.

“Yo, Alhamdulillah laku. Tapi, nggak selalu begitu. Balik lagi, warga itu juga ada yang kurang berminat. Sekalipun ada, laku, tetap belum bisa jadi pemasukan meskipun kita titipkan ke sana-sini,” kata Denik.

Selain kerajinan barang bekas, Denik mulai memikirkan bagaimana mengolah sampah organik dan minyak jelantah. Suaminya mendukung ide itu.

“Suamiku belajar ngolah sampah jadi pupuk, ngilangin bau minyak jelantah untuk bikin jadi lilin. Sama, belajarnya juga dari Mbah Google,” katanya.

Di antara waktu yang sibuk dan penuh ide itu, Denik menerima kabar Kelurahan Perak Utara berhasil memenangkan lomba Desa/Kelurahan Berseri untuk kategori madya dari Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Kemenangan itu bagi Denik bukan cuma hadiah atas kerja kerasnya, tapi jadi momentum untuk semakin memasarkan bank sampahnya.

Pokoke dalam pikirku, ini kita menang, punya nama,” katanya, menegaskan bahwa BSW memiliki andil penting dari kemenangan itu.

Modal prestasi itu membuatnya semakin ingin mengembangkan BSW. Kali ini ia ingin membuat semua sistem pencatatan tabungan nasabah menjadi digital.

“Kasihan bendaharanya, semuanya dicatat manual.”

Ia meminta suaminya, seorang karyawan di bidang IT, untuk menyusun rancangan awal pembuatan aplikasi mirip mobile banking serta situs web Bank Sampah Wani.

“Pokoknya saya yang ngide, dia yang mengerjakan. Dia sampai bilang, ‘Duh, Bu. Idemu itu menyengsarakanku’,” katanya tertawa.

Tapi, digitalisasi butuh modal.

Ide lain muncul. Ia berinisiatif mengajukan proposal kerjasama ke perusahaan-perusahaan di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak. Menurutnya, banyak peluang dari program pertanggungjawaban keberlangsungan perusahaan alias CSR.

Proposal pertama diajukan ke PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

“Nekat aja. Padahal saya tuh belum tahu bagaimana caranya jadi mitra binaan untuk program CSR. Yo, Alhamdulillah proposalnya tembus, rek!” katanya.

Dari Pelindo, Bank Sampah Wani dapat dukungan komputer, laptop, printer, gerobak sampah motor, serta dukungan pembuatan aplikasi dan situs web.

Berkat dukungan itu, bank sampah unit tersebut menambah periode pengumpulan sampah menjadi dua kali dalam satu bulan.

Periode pertama, biasanya pada minggu kedua, Bank Sampah Wani bersama warga pengurus membuka pengumpulan sampah di area titik kumpul RT. Pengumpulan kedua, pada akhir bulan, Denik dan tim menjemput sampah ke rumah-rumah warga.

“Kita jemput bola atas dasar laporan ada sampah yang sudah numpuk. Pokoknya sekarang itu satu bulan kita sudah bisa dapat 500 kg sampah yang sudah terpilah. Makanya kita juga butuh tambahan gudang,” ucapnya.

Hanya saja dalam setahun terakhir ini, harga jual sampah yang ditetapkan Bank Sampah Induk Surabaya terus turun. Denik tak tahu persis alasan di balik penurunan harga tersebut, selain spekulasi ada permainan harga kertas. Di luar itu, ia hanya memikirkan bagaimana nasabahnya tetap mau menabung meski harga jual sampah bekas terus turun.

Saat ini, Bank Sampah Wani memiliki sekitar 80 nasabah yang tercatat dalam pembukuan, dengan rerata nilai tabungan per orang Rp50 ribu-Rp200 ribu. Sementara, untung untuk ‘gaji’ kader, “SEPULUH EWU!” teriak Denik.

Selayak-layaknya Apresiasi

Bagi Denik, keberhasilan bank sampah warga bergantung dari banyak dukungan. Pertama, tentu saja dukungan keluarga.

Kedua, dukungan pengurus. “Yang penting konsisten, sabar. Niatnya memang kerja sosial, kita ini pencinta lingkungan,” kata Denik, seraya berkelakar. “Ya, semacam pemulung modern juga, sih.”

Ketiga, dukungan warga. Denik mengaku kesulitan mengubah pola pikir warga tentang sampah. Selama melakukan sosialisasi bank sampah, Denik menekankan edukasi tentang pemisahan dan pencucian barang bekas sebelum disetor dan diolah.

Demi memicu semangat warga, Denik terkadang masih rela menerima barang bekas kotor untuk kemudian dipilah dan dicuci para pengurus Bank Sampah Wani. Namun, ia berharap hal ini tidak terus-menerus karena mereka terbatas tenaga dan waktu.

“Mengajari warga itu angel. Milah sampah saja angel. Memang ada yang bergerak, tapi belum 100 persen. Kita pengennya ketua RT koordinir warganya. Kolektif dulu, kalau butuh penjemputan, kita jemput,” kata Denik.

Keempat, dukungan pemerintah daerah dalam regulasi, kemudahan perizinan, dan pengakuan bank sampah unit sebagai bagian dari Kader Surabaya Hebat.

Kader Surabaya Hebat adalah bagian program kerja Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi untuk memberdayakan masyarakat mendorong perbaikan kerja di sektor lingkungan, kesehatan (posyandu), dan antisipasi demam berdarah (jemantik).

Para kader mendapat gaji kisaran Rp300 ribu-Rp400 ribu per bulan dalam program yang dimulai tahun 2021 itu. Pada 2022, pemkot menyuntikkan dana Rp13,4 miliar untuk program tersebut, salah satunya untuk kenaikan gaji para kader di kisaran Rp500-600 ribu per bulan.

“Sampah itu dianggapnya bagian dari kerja sektor lingkungan. Persoalannya, dari dulu, pengurus bank sampah itu tidak ada yang jadi Kader Surabaya Hebat,” kata Denik.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya Agus Hebi tidak memberi respons saat dikonfirmasi.

“Memang nggak ada aturan bank sampah digaji seperti KSH. Tapi, kok seperti dianaktirikan? Kalau ada bank sampah prestasi, yang dipuji KSH-nya, lho aku deg… Pengelolaan lingkungan? Padahal bank sampah, kan, bagian dari itu.”

175 Ribu Ton Sampah per Hari

Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan jumlah bank sampah unit (dikelola masyarakat) dan bank sampah induk (dikelola LSM/Pemda/masyarakat) terbanyak di Indonesia.

Merujuk Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, jumlah bank sampah unit di Jawa Timur mencapai 2.684 dari total 11.531 gerai di seluruh Indonesia. Sementara, dari total 237 bank sampah induk, 29 di antaranya ada di Jawa Timur.

Sekalipun jumlah bank sampah unit dan induk telah mencapai belasan ribu, tetapi angka ini belum sepenuhnya efektif dalam menjawab persoalan pengelolaan sampah di Indonesia.

Mengutip data yang sama, jumlah sampah yang diterima bank sampah unit sepanjang tahun 2022 mencapai 404,78 juta kg. Dari jumlah itu, hanya 138,4 juta kg yang terkelola atau sekitar 34%. Begitu juga dengan sampah yang dikelola bank sampah induk hanya 0,3% saja atau 247.498 kg dari total 90,2 juta kg sampah yang diterima.

KLHK mengestimasi jumlah sampah harian di Indonesia mencapai 175 ribu ton. Mereka mengklaim bisa mengelola sampai 77 persennya, sudah termasuk kerja-kerja bank sampah. Sisa sampah yang tidak terkelola masih akan menumpuk.

Pada 2022, timbunan sampah telah mencapai 18,89 juta ton. Bila tidak di TPA, sebagian besar sampah plastik yang tidak terkelola itu berakhir mencemari laut.

Pemerintah sejauh ini telah membangun sejumlah fasilitas pengelolaan sampah non-organik menjadi sumber energi baru. Akan tetapi, kapasitas pengelolaannya juga masih belum sebanding dengan jumlah sampah yang dihasilkan.

Semisal untuk industri pengolahan dengan teknologi pirolisis yang menggunakan bahan baku sampah plastik jenis LDPE (Low Density Polyethylene) dan sampah plastik jenis PET (Polyethylene Terephthalate) untuk diubah menjadi bahan bakar minyak (BBM). Saat ini, jumlah fasilitas yang terbangun tidak melebihi 10 unit dengan kapasitas pengelolaannya hanya 2.102 ton/tahun.

Begitu juga pengolahan dengan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) yang mengubah sampah plastik jenis tertentu menjadi briket untuk pembakaran uap. Saat ini, dari total sembilan fasilitas pengolahan, jumlah sampah yang bisa terkelola sepanjang 2019-2022 baru mencapai 151.241 ton.

**

Inisiatif Peduli Lingkungan di Kota Minim Kesadaran

STAMINA RENI ANGGRAENI (42) sudah tidak 100 persen saat kami temui di rumahnya di Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak pagi, ia sudah berkeliling ke sana-sini mempersiapkan acara peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2023 pada 19 Februari di Sidoarjo.

Selain mengurus rumah dan ketiga putrinya, Reni punya kegiatan lain. Ia adalah salah satu pengurus paguyuban bank sampah di Sidoarjo. Suaminya bekerja di Kediri, dan baru pulang saban akhir pekan.

Awalnya, Reni menolak untuk diwawancara perihal kegiatan yang dilakoninya itu. Penolakannya lebih karena ia tak percaya diri, bank sampahnya tidak punya banyak peminat, juga tidak ada pengurusnya.

Sudah tujuh tahun, ia menjalankan kegiatan kolektif bank sampah. Berawal dari inisiatif pengumpulan sampah di sekolah putrinya.

Reni mengaku sebagai seorang yang idealis, bila tak terlalu berlebihan, juga aktivis.

“Awalnya aku sama ibu-ibu, berempat. Kita ambil sampah, cuci, jemur sendiri,” kata Reni.

Jenis sampah yang ia ambil adalah bungkus-bungkus makanan. Bermodal dari membaca berbagai informasi di internet, ia kemudian mengumpulkan sampah-sampah itu ke dalam botol untuk kemudian dijadikan ecobricks atau batubata ramah lingkungan.

Botol-botol ecobricks kemudian diubahnya dalam bentuk kursi dan meja. Barang kerajinannya itu tak lagi terlihat seperti tumpukan sampah karena telah ditutup kain kulit sintetis. Hasil kerajinan itu lalu dilombakan.

“Waktu itu pemerintah lagi gencar-gencarnya program lingkungan. Banyak sekali lomba,” kata Reni.

Dari perlombaan itu, ia dapat pesanan. Satu set meja dengan tiga kursi jenis stool dijual seharga Rp350 ribu. Bagi Reni, harga itu sebetulnya belum menutup ongkos produksi. Tapi, bagi sejumlah orang, harga itu kelewat mahal untuk kerajinan dari sampah.

“Ya, susah dijual. Paling cuma orang-orang yang paham lingkungan, yang nggak banyak. Dulu malah ada yang pesan tapi ternyata dia mau ikut lomba dan menang. Yo wis lah, ora opo-opo,” kata Reni.

Dari Pendiri, Berakhir Jadi Sendiri

Dari sekolah, kegiatan pengumpulan dan pengelolaan bank sampah berlanjut ke rumah.

Inisiatif itu masih Reni jalankan bersama keempat kawannya. Ketika itu, struktur kepengurusan bank sampah masih terlihat serius: ada ketua, bendahara, dan pencatat timbangan. Mereka biasanya mengumpulkan sampah sebulan sekali.

Promosi bank sampah dilakukan dari mulut ke mulut, seputar sirkel mereka dan tetangga. Lantaran keempat pengurus lain tidak tinggal di satu perumahan yang sama, Reni sering menjemput langsung sampah-sampah itu dengan mobilnya.

“Aku dulu bisa ambil sendiri sampai Kriyan (sekitar 13 km). Suamiku sempet ngingetin, bensinnya nggak setara sama harga sampahnya. Ya, tapi namanya seneng, lihat ada manfaatnya,” kata Reni.

Sampah yang terkumpul di rumahnya tidak dipilah. Ia sempat melakukan pemilahan, tapi terkendala karena pengepul yang diincar punya batas pengambilan berat sampah. Sementara, bila mengikuti batas berat itu, ia harus punya gudang untuk menyimpan  sampah-sampahnya.

Ia lalu menemukan pengepul dari Kecamatan Wonoayu yang mau mengambil semua jenis sampah bekas, bersih maupun kotor, berapapun jumlahnya. Persoalannya memang harga jual dipukul rata, satu kresek Rp4 ribu-Rp5 ribu. Biasanya, buku bekas yang bisa dijual dengan hitungan per kg dan tinggi, sekitar Rp25 ribu.

Untuk menarik nasabah, Reni berinisiatif menawarkan tabungan sampah dengan sejumlah promosi. “Pokoknya yang cocok sama ibu-ibu. Awal-awal sempat tukar sembako, lalu potongan bayar listrik, nah sekarang emas. Idenya itu dari sampah jadi emas,” kata Reni.

Namun, ia punya kendala. Ia tak punya tenaga memasarkan sampah jadi emasnya ke lebih banyak orang di luar sirkelnya. Saat pandemi, satu persatu pengurusnya mundur, dari alasan capek sampai tidak dapat izin dari suami karena dianggap tidak menguntungkan.

“Sebenarnya emas ini lumayan banyak yang mau karena ada ukuran yang paling kecil 0,25 gram, jadi nabungnya nggak lama. Harganya juga, kan, naik-naik terus. Tapi, aku ini nggak ada yang support,” keluhnya.

Ia sempat merekrut pengurus pengganti, tapi akhirnya batal. Lagi-lagi karena masalah duit. Reni mengatakan dalam satu tahun, ia paling hanya menerima keuntungan sekitar Rp700 ribu.

“Kalau dibagi lima itu sekitar Rp100 ribuan per tahun. Per bulan, satu orang ya sepuluh ewu-an! Orang mikir, daripada ngurus sampah, ya, mending ngurus anak. Kadang izin suami juga. Untung suamiku sakarepku,” katanya.

Sampai saat ini, jumlah nasabahnya yang tercatat mencapai 50 orang. Akan tetapi, yang aktif mengumpulkan sampah paling hanya separuhnya.

“Ya, edukasi maneh. Ini tetangga sendiri saja nggak mengumpulkan, kok,” tukas Reni.

Seminim-minimnya Dukungan

Sekitar dua bulan lalu, Unilever Indonesia menawarkan kerja sama bank sampah Reni. Bentuknya pengisian ulang tiga produk Unilever dengan wadah sendiri, semacam bulk store. Ketiga produk itu sabun cuci pakaian Rinso, sabun cuci piring Sunlight, dan pembersih lantai Wipol.

Modal yang diberikan adalah tiga jeriken dari masing-masing produk itu. Kalau diuangkan setara Rp300 ribu. Dari situ, Reni menawarkan kepada warga untuk mengisi ulang sabun dan pembersih lantai itu menggunakan wadah bekas di rumah.

“Biasanya tak samakan dengan harga pasar, atau selisih [lebih mahal] Rp1.000-Rp2.000. Kalau mahal-mahal orang, kan, mikir, ‘Ngapain, mending beli sendiri ke warung’,” katanya.

Namun, program itu tidak efektif, lanjut Reni. Kebanyakan pembelinya adalah temannya juga. Selebihnya tidak tertarik. Modal itu juga hanya satu kali diberikan Unilever. Untuk selanjutnya, bank sampah harus membeli sendiri isi ulang dari ketiga produk itu.

Kerja sama yang ditawarkan Unilever ini adalah yang kedua kali. Saat awal merintis bank sampah, korporasi raksasa yang memproduksi barang konsumsi itu juga sempat memberikan dukungan buku tabungan ke Reni.

Soal pengelolaan sampah, Reni mengaku Unilever sebetulnya menerima sampah bekas. Tapi, hanya dari kemasan produk mereka. Sampah bekas, kebanyakan saset, juga sudah harus bersih, kering, dan terlipat rapi.

“Jadi saset-saset itu ditumpuk sampai tipis. Mereka bayar satu kresek, biasanya 3 kg, Rp1.500. Susah juga, ngumpulin susah dan harus diantar sendiri. Nggak seberapa. Ya, nggak jalan,” kata Reni.

Project Multatuli telah menghubungi Unilever Indonesia tetapi tidak mendapatkan jawaban.

Aspirasi Tanpa Ngoyo

Reni muda pernah hampir jadi politikus. Sewaktu masih kuliah, ayahnya pernah menjagokan anak perempuan pertamanya ini dalam daftar bakal calon legislatif di Sidoarjo.

“Fotoku sempet dipampang di jalan-jalan. Ampun, malu juga. Ambisinya orangtua, ya,” kata lulusan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Surabaya ini.

“Ya, nggak jadi, lah. Uang dari mana? Yang iya malah disangka nyari jodoh.”

Reni pernah jadi penulis untuk tabloid muslim milik Jawa Pos, Nurani. Ia menikmati perannya jadi bagian dari industri media. Namun, profesi itu tidak dilanjutkan karena kekhawatiran sang ibu.

“Mamaku dulu pernah bilang, ‘Ojo sampe jadi wartawan.’ Batinku, ‘Ya, nopo?’ Baru tahu susah dan risikonya pas sudah tua ini,” lanjutnya.

Ia kemudian menjadi penulis buku. Mengawalinya dengan menulis cerita pendek bersama penulis-penulis lokal lain. Nyaris sepuluh buku antologi dengan karyanya sudah terbit. Baru-baru ini, ia kembali menerbitkan buku cerita anak yang terinspirasi dari kisah sahabat Nabi Muhammad.

“Plan-ku pengen solo tahun ini, semoga mimpi ini terlaksana. Nulis selama ini lebih buat pengembangan diri, sih,” katanya.

Ia melakoni peran sebagai penulis dengan santai. Ia ingat, suatu ketika ibunya pernah memintanya untuk tidak terlalu aktif. “‘Wis, ojo vokal-vokal. Jaga nama orangtua.’ Ya, tapi gimana? Aku senengnya memang keluyuran, ketemu banyak orang. Sekaligus nyampein aspirasi. Tapi, ya, akhirnya yang selo-selo saja.”

Masalah lingkungan yang saat ini jadi prioritasnya, selain pendidikan, menurutnya jadi barang mahal di Sidoarjo sekalipun sekolahnya punya pemerintah.

Ia kadang tak habis pikir dengan pemerintah daerah Sidoarjo yang lebih banyak sibuk dengan urusan-urusan yang tidak pro-rakyat, apalagi lingkungan.

“Surabaya itu punya wali kota yang lebih bagus. Zaman Bu Risma itu paling gembar-gembor soal lingkungan, sampai ada program bis bawa sampah,” sebut Reni.

“Sidoarjo duitnya dipake ke mana? Yang terakhir malah korupsi,” lanjutnya, seraya membahas vonis tiga tahun penjara untuk mantan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah karena terbukti menerima suap pada 2020.

Makanya Reni tak jadi heran mengapa warga di Sidoarjo berbeda dengan Surabaya yang menurutnya lebih banyak yang sadar akan pentingnya mengurus lingkungan. Ia bilang, warga di desa-desa Sidoarjo masih banyak yang percaya bahwa sampah popok sekali pakai harus dibuang ke tempat yang ada airnya. Katanya, ada mitos membuang sampah ‘sembarangan’ bisa membuat anak mereka sakit.

“Bagi mereka dibuang ke kali, sawah, itu nggak apa-apa. Logika mereka karena sungainya ngalir. Pokoknya mereka mikir yang penting masalahku selesai, ya, sudah. Nggak mau mikir itu numpuknya di mana,” kata Reni.

“Kalau orang desa mikir itu ngalir ke laut terus jadi polusi, ya, enak. Berarti sudah sadar semua.”

Maka baginya, pemerintah punya tanggung jawab paling besar dalam memperbaiki masalah sampah, dari hulu ke hilir.

Dari pengamatannya, pengelolaan sampah di Sidoarjo masih mengandalkan tempat pembuangan akhir (TPA). Para petugas sampah, kata Reni, digaji Rp1 juta per bulan, sejauh ini masih ditugaskan untuk memindahkan sampah, belum dikoordinasikan untuk pemilahan dan pengelolaan. Akibatnya, banyak warga melihat persoalan sampah mereka selesai karena sudah terangkut.

“Jadi kayak lingkaran setan. Perusahaan harusnya nurut kalau regulasinya jalan. Tapi, yo, kayaknya kebalikan. Pemerintah yang nurut sama perusahaan,” keluh Reni.

Meski menjalankan bank sampah sendirian, Reni belum berencana untuk mundur. Ia masih akan meneruskan kegiatan ini, paling tidak selama suaminya tetap tidak masalah. Kalaupun bank sampahnya tidak maju, paling tidak ia masih bisa berkontribusi untuk bank-bank sampah lain di Sidoarjo.

“Kita nyari temen yang sefrekuensi saja. Nggak ngoyo. Kalau ada yang setor, ayo, nggak, ya, udah. Urip gawe, opo, ya, mikirnya sangu mati aja. Hidup udah masalah, jangan dibikin masalah. Ya, walaupun sampah juga masalah, ya,” tukasnya sambil tertawa.


Editor: Fahri Salam

Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.